JAKARTA – Bawaslu terus memeriksa dugaan pelanggaran Pilkada Serentak 2020. Hingga 27 Maret, terdapat 475 dugaan pelanggaran. Dugaan pelanggaran yang berupa temuan sebanyak 491 kasus. Sedangkan laporan dari masyarakat sebanyak 84 kasus. Namun dari keduanya, setelah dilakukan kajian awal, sebanyak 103 kasus dinyatakan bukan termasuk pelanggaran.
Berdasarkan jenis pelanggaran, terdapat empat jenis. Rinciannya, dugaan pelanggaran administrasi sebanyak 139 kasus, pidana sebanyak dua kasus, kode etik 16 kasus, dan dugaan pelanggaran hukum lainnya sebanyak 318 kasus.
Dari data yang dirilis Bawaslu, tentang dugaan pelanggaran administrasi, beberapa perbuatan pelanggan yang paling dilakukan baik peserta pilkada, penyelenggara maupun masyarakat, di antaranya: pengumuman seleksi penyelenggara Ad hoc (sementara). Seperti calon anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) tidak memenuhi syarat karena berasal dari partai politik.
Kemudian calon anggota PPK dan PPS telah dua periode menjabat, pelayanan KPU dalam proses pendaftaran penyelenggara ad hoc, adanya survei terhadap bakal calon, serta pemalsuan dokumen syarat pendaftaran.
Dalam kaitan pelanggaran pidana sebanyak dua kasus. Pertama akibat menghilangkan hak seseorang menjadi pasangan calon. Hal ini melanggar aturan Pasal 180 Ayat (1) UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016. Yang kedua terkait memalsukan daftar dukungan dari jalur perseorangan sesuai aturan Pasal 185 A Ayat (1) UU Pilkada 10/2016.
Selanjutnya, tren pelanggaran kode etik penyelenggara pilkada bentuknya seperti Panitia Pengawas Pemilihan tingkat Kecamatan (Panwascam) menjadi pengurus parpol, Panwascam memberikan dukungan kepada bakal paslon, KPU Kabupaten/Kota meloloskan PPS yang menjadi pengurus parpol, KPU Kabupaten/Kota tak profesional dalam pembentukan PPK dan PPS.
Terakhir pelanggaran hukum lainnya didominasi oleh pelanggaran Aparatur Sipil Negara (ASN). Beberapa di antaranya seperti ASN memberikan dukungan melalui media sosial, ASN melakukan pendekatakan atau mendaftarkan diri pada salah satu bakal paslon, ASN menyosialisasikan bakal paslon melalui alat peraga kampanye (APK), dan ASN yang menghadiri kegiatan silaturahmi yang dianggap menguntungkan bakal paslon.
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menyebutkan, sebelumnya, hingga 13 Maret lalu, Bawaslu telah memeriksa 325 kasus dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN). Rinciannya, 268 kasus telah direkomendasikan kepada Komisi ASN, 34 kasus dihentikan, dan 23 kasus lainnya masih dalam proses pemeriksaan. “Berdasarkan rekapitulasi pelanggaran data di 30 provinsi hingga 13 Maret 2020, Provinsi Maluku menempati angka tertinggi dengan 48 kasus, Nusa Tenggara Barat 38 kasus, Sulawesi Tenggara 36 kasus, Sulawesi Selatan 28 kasus, dan Sulawesi Tengah ada 27 kasus,” paparnya.
Sementara di enam provinsi lainnya, lanjut Dewi, masih belum ditemukan adanya pelanggaran netralitas ASN. Yaitu di Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung.
Dia menegaskan, meskipun saat ini sedang memawah virus Corona, fungsi- fungsi pengawasan harus tetap berjalan dan dimaksimalkan demi meminimalisir pelanggaran netralitas ASN. “Fungsi- fungsi pengawasan harus tetap dimaksimalkan meminimalisir angka pelanggaran. Kalau nanti terjadi pelanggaran terkait netralitas ASN akan tetap diproses,” jelasnya.
Hanya saja, tutur Dewi, proses klarifikasi yang dilakukan tidak dengan tatap muka langsung. Tetapi dengan menggunakan media elektronik. “Tetapi, tentu tetap perlu ada pembuktian dan desain ini akan kami bicarakan kembali dalam pleno Bawaslu. Sehingga penanganan pelanggarannya tetap sah dan diterima sesuai dengan ketentuan Undang-Undang,” tegasnya.
Diketahui, saat ini ada penundaan sejumlah tahapan Pilkada 2020. Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) diperlukan bila melakukan penundaan pelaksanaan tahapan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020. Selain itu, Bawaslu telah mengeluar surat edaran (SE) pengawasan penundaan beberapa tahapan Pilkada 2020.
Abhan menjelaskan, tanggal pemungutan suara Pilkada 2020 pada 23 September merupakan perintah UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau biasa disebut UU Pilkada. "Untuk Perppu belum bisa dipastikan. Karena saat ini sedang ada faktor di luar dugaan. Kami akan melihat perkembangan situasi beberapa waktu ke depan," ucapnya.
KPU telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) penundaan beberapa tahapan pilkada seperti pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi faktual calon perseorangan, dan penelitian (coklit), dan pemutahiran data pemilih. Abhan mengaku, penundaan beberapa tahapan tersebut apabila akhirnya berdampak menunda tahapan pemungutan suara, maka presiden perlu menerbitkan Perppu.
"Bawaslu setiap saat terus melakukan koordinasi dengan KPU terkait tahapan pilkada yang terganggu akibat COVID-19. Seandainya KPU menunda tahapan sekarang sampai Mei atau Juni. Maka harus dilihat kembali apakah sisa waktu cukup untuk menyelesaikan tahapan? Kalau cukup waktu, harus ada Perppu," tandasnya. (khf/fin/rh)