News . 09/03/2020, 11:34 WIB

KPK Harusnya Punya Rasa Malu!

Penulis : Admin
Editor : Admin

JAKARTA - Jejak politikus PDIP Harun Masiku (HM) dalam kasus suap Pergantian antar Waktu (PAW) dan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi (NHD) yang terlilit gratifikasi perkara di MA sepanjang 2011-2016 diyakini keberadaannya sudah berada di tangan kepolisian termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keyakinan ini bukan tanpa alasan melihat beberapa statmen yang disampaikan komisi antirasuah terkait perkembangan terakhir. Maka, tegas publik menilai tidak relevan dan menolak jika kasus kedua orang yang sudah masuk dalam DPO itu disidangkan tanpa dihadirkan sosoknya.

”Jangan-jangan sudah ada di Gedung KPK. Atau lokasinya tidak jauh dari gedung Merah Putih itu. Kita mana tahu, hanya pimpinan dan para penyidik yang tahu. Mereka punya kekuatan untuk melacaknya. Toh sebenarnya Masiku sudah terlacak oleh CCTV. Artinya jelas, keberadaannya ada,” terang Pengamat Hukum dan Tata Negara Yusdiyanto Alam menyikapi lambatnya penangkapan Harun Masiku, Minggu (8/3).

Munurut Yusdiyanto, apa yang dilakukan KPK termasuk ide diadili secara in absentia, sudah tidak relevan dengan kemampuan KPK dalam mengatasi kasus suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024.

”Ya harus ditolak (Peridangan in absentia, Red). Kenapa? maka kesempatan untuk mengorek keterangan terdakwa akan tertutup. Padahal keterangan HM sangat penting untuk membuka keterangan pihak lain dalam persidangan terbuka yang dibuka untuk umum,” papar akademisi Universitas Lampung itu.

BACA JUGA: 4 Pasien Sebelumnya Segera Dipulangkan

Dalam konteks kasus suap pengurusan PAW tersebut, sambng dia, justru pengadilan secara terbuka sangat penting untuk publik melihat bagaimana keterlibatan pihak-pihak lain. ”Bukan hanya menarik, ini kan kasus pertama soal suap PAW yang ditangani KPK. Maka kesempatan mengorek dari mana HM mendapatkan uang, mendapat perintah, dapat persetujuan, dengan siapa HM berkomunikasi, di internal PDIP sendiri bagaimana keterangan pihak lain, bagaimana tindakan aktif dari pengurus DPP PDIP dan juga keterlibatan pihak lain, itu akan tidak bisa dibuka tanpa kehadiran terdakwa,” timpalnya.

Ia pun meminta KPK untuk terus mencari tersangka Harun yang telah ditetapkan sebagai DPO pada 17 Januari 2020 itu. ”Lho ya harus punya malu dong. Seharusnya KPK tidak memperlihatkan kemampuan di bawah standar. Cari terus HM itu, ya punya sedikit rasa malu. Masa kalah dari polsek-polsek yang biasa menangkap kriminal. Pimpinannya jenderal bintang tiga," ucap Yusdiyanto.

BACA JUGA: Italia Darurat Corona, Aksi Borong Terjadi

Yusdiyanto menambahkan, peradilan in absentia untuk tindak pidana korupsi (tipikor) secara norma hukum dimungkinkan dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Tipikor. ”Bisa tapi konsep untuk peradilan in absentia untuk perkara tipikor itu punya tujuan. Tujuan utamanya adalah perampasan aset. Jadi tanpa berambisi untuk menghukum badan si tersangka, ya upaya untuk mengembalikan aset itu menjadi yang utama dalam pemberantasan korupsi. Dalam kasus HM tak ada kekayaan negara yang ingin dikejar. Yang ingin dikejar adalah keterlibatan HM beserta pihak-pihak lain,” bebernya.

Terpisah, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga terus menyoroti dibukanya kemungkinan persidangan in absentia terhadap Harun Masiku dan Nurhadi dalam kasus suap dan gratifikasi . Keduanya, telah dimasukkan dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) dan belum tertangkap sampai saat ini.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Jumat, menyatakan bahwa pada dasarnya Pasal 38 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi memang membuka celah bagi KPK untuk tetap melimpahkan berkas ke persidangan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia, Red). ”Namun penting untuk diingat bahwa pasal ini dapat digunakan dengan syarat khusus yakni penegak hukum harus benar-benar bekerja untuk menemukan para buronan,” ucap dia.

BACA JUGA: Shireen Sungkar Blak-blakan Suami Jadi Romantis

Akan tetapi, kata Kurnia, untuk saat ini rasanya tidak tepat jika KPK langsung begitu saja menyidangkan Harun Masiku dan Nurhadi dengan metode in absentia. ”Sebab sampai hari ini publik tidak pernah melihat adanya keseriusan dan kemauan dari pimpinan KPK untuk benar-benar menemukan dan menangkap kedua buron tersebut,” kata dia.

Sebelumnya, KPK membuka kemungkinan dilakukannya persidangan in absentia terhadap dua tersangka tersebut, apabila berkas perkara penyidikan perkara telah rampung namun yang bersangkutan belum berhasil ditangkap. ”Untuk kasus suap menyuap di KPU itu, dari Harun Masiku ke eks Komisioner KPU itu kan yang kami tetapkan empat orang tersangka, yang tiga sudah di dalam, yang satu belum kami tangkap ya, masih di luar," ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron .

Dalam istilah hukum, pengadilan in absentia adalah upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa yang bersangkutan. Ghufron mengatakan pengadilan in absentia sangat mungkin dilakukan terhadap tersangka Harun ataupun tersangka lain yang masuk dalam DPO lainnya, termasuk Nurhadi. (riz/fin/ful)

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com