Nasib Pemilu Ditentukan DPR

fin.co.id - 28/02/2020, 03:34 WIB

Nasib Pemilu Ditentukan DPR

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA – Setelah uji materi yang diajukan Perkumpulan Pemilu Untuk Demokrasi (Perludem) ditolak, Mahkamah Konstitusi (MK) memberi enam opsi. Dari sejumlah opsi, Perludem menyarankan agar legislatif memilih opsi pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal. Yakni nasional pemilihan presiden, DPR RI dan DPD. Sedangkan lokal gubernur, bupati/wali kota dan DPRD.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, akan ada tiga pemilu yang diselenggarakan pada 2024. Hal ini berdasarkan peraturan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Banyaknya surat suara yang dicoblos, menjadi alasan pemisahan pemilu tersebut. Berkaca dari Pemilu 2019 lalu, pemilu lima kotak dinilai menyulitkan penyelenggara pemilu di level bawah.

"Kalau kita hitung siklus 5 tahunan, maka pada 2024 kita akan menggelar pilpres dan pileg secara bersamaan pada bulan April. Ini sesuai siklus pilpres dan pileg 2019. Kemudian, pilkada secara serentak untuk 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota akan digelar pada November 2024. Desain itu, saat ini masih berlaku karena tidak dibatalkan oleh MK. Kecuali ada perubahan dari pembuat Undang-Undang," kata Titi di Jakarta, Kamis (27/2).

BACA JUGA: India Membara, Sejumlah Masjid Dibakar, 27 Orang Tewas

Berdasarkan putusan MK, ada sejumlah poin yang disarankan Perludem untuk Pemilu 2024. Pertama, pada 2024 pemerintah diusulkan hanya melaksanakan pilpres, pemilihan anggota DPR dan pemilihan anggota DPD. Kedua, pada dua tahun berikutnya, pemerintah menggelar pilkada serentak untuk memilih gubernur, bupati/wali kota dan anggota DPRD provinsi serta kabupaten/kota. Ketiga, di tahun-tahun berikutnya pemerintah disarankan mempersiapkan pemilu serentak selanjutnya. Yakni pada 2029.

Perludem memilih tidak menyarankan pelaksanaan pilpres, pileg dan pilkada secara bersamaan. Titi beralasan, jika dilihat dari semangatnya, penggabungan ketiganya kurang sesuai dengan ketentuan dalam putusan MK. Utamanya poin pelaksanaan pemilu yang efektif dan efisien. "Jika tiga pemilu digelar pada 2024, walaupun hari pemungutannya berbeda, pilpres-pileg pada April dan pilkada November. Tetap saja beban tahapannya berjalan beriringan," jelas Titi.

Dia meminta DPR untuk mengkaji sistem pemilu serentak dipisah jadi dua tingkatan. "Yang kami dorong adalah Pemilu serentak, eksekutif-legislatif berbarengan. Tetapi dua layer. Dua tingkatan. Nasional dan daerah. Itu yang kami minta," imbuh Titi.

BACA JUGA: Modifikasi Cuaca Tak Bisa Malam Hari

Terpisah, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, pasca putusan MK yang menolak uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017, lembaganya siap membahas bersama Pemerintah terkait enam variasi pelaksanaan Pemilu yang menjadi salah satu rekomendasi MK. "Ada enam varian yang bisa dilakukan pembahasan antara Pemerintah dan DPR RI," ujar Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (27/2).

Menurutnya, apa yang sudah diputuskan MK merupakan keputusan final dan mengikat dan ada enam varian pelaksanaan Pemilu yang diberikan MK sebagai alternatif. Dari enam varian itu, mana yang terbaik dan apa yang akan dipilih, akan diputuskan setelah pembahasan mendalam antara Pemerintah dan DPR.

"Kami tentu mengapresiasi keputusan ini meskipun final dan mengikat namun ada varian-varian yang menjadi alternatif sehingga hal-hal yang terjadi secara negatif seperti ada korban, petugas bekerja terus menerus hingga kelelahan. Ini jangan terulang di Pemilu 2024," paparnya.

Diketahui, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyoal pelaksanaan pemilu serentak menyebabkan banyak petugas menjadi korban. Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (26/2), mengatakan MK berpendirian pemisahan pemilu presiden-wakil presiden dengan pemilihan legislatif pusat bertentangan dengan UUD NRI 1945. "Mahkamah berpendirian bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif yang konstitusional adalah yang dilaksanakan secara serentak," Saldi Isra.

BACA JUGA: Gelar Sunatan Massal, Legislator Senayan Diperiksa

Menurutnya, MK tetap menganggap setidaknya ada enam variasi pemilu serentak yang tetap sah sepanjang sejalan dengan penguatan sistem presidensial. Yang membedakannya adalah kombinasi pesertanya. Pertama, sebagaimana yang selama ini berjalan, yakni pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden-wakil presiden.

Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden-wakil presiden, gubernur, dan bupati/wali kota. Opsi selanjutnya, pemilu anggota DPR, DPD, presiden-wakil presiden, anggota DPRD, gubernur dan bupati/wali kota. (selengkapnya lihat grafis. Red)

Alasan MK menolak permohonan Perludem, karena MK merasa tidak punya kewenangan menentukan model keserentakan pemilu. MK menyatakan permintaan tersebut dinilai tidak beralasan menurut hukum. Meski begitu, mahkamah menegaskan bahwa keserentakan pemilu dapat dimaknai sebagai pemilihan umum untuk memilih anggota perwakilan rakyat di tingkat pusat, yaitu presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD. Keserentakan tersebut dinilai sebagai upaya penguatan sistem pemerintahan presidensiil. (khf/fin/rh)

Admin
Penulis