JAKARTA - Tingkat kepercayaan publik terhadap KPK mengalami penurunan. Penyebabnya dinilai karena adanya revisi Undang Undang dan buruknya seleksi pemimpinan KPK.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan penurunan kepercayaan publik terhadap KPK karena dampak dari buruknya seleksi pimpinan KPK periode 2019-2023 dan adanya revisi Undang-Undang (UU) KPK.
"Tingkat kepercayaan publik pada KPK menurun drastis berdasarkan survei awal 2020. Alvara Research Center melaporkan KPK hanya menempati posisi lima lembaga negara yang dipercayai. Survei terbaru Indo Barometer menyebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di nomor empat kalah dari TNI dan Polri," katanya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (25/2).
BACA JUGA: Banjir Bikin Jakarta Rugi Rp1 Triliun
Padahal pada 2016-2018, berdasarkan survei nasional yang dilakukan tiga lembaga berbeda, yakni Polling Centre, CSIS, dan Lembaga Survei Indonesia (LSI), tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di peringkat pertama bahkan mengalahkan kepercayaan publik terhadap Presiden.Menurutnya, hasil survei terbaru menunjukan situasi pemberantasan korupsi yang semakin memburuk dan menipisnya harapan masyarakat Indonesia terhadap KPK.
"Tidak dapat dipungkiri situasi terkini KPK banyak mengalami perubahan. Hal itu dipicu setidaknya dua hal. Pertama, seleksi pimpinan KPK yang buruk membuat pimpinan KPK terpilih sarat kontroversi," kata Kurnia.
Berdasarkan catatan ICW selama proses seleksi Pimpinan KPK ditemukan hal yang krusial, salah satunya pansel mengabaikan aspek integritas dan rekam jejak para calon.
"Hasilnya, lima Pimpinan KPK yang terpilih memiliki banyak catatan, mulai dari diduga melanggar kode etik maupun rendahnya kepatuhan dalam LHKPN. Belum lagi keterkaitan pimpinan KPK dengan kasus korupsi yang saat itu tengah disidik KPK," ujar dia.
Lalu, Undang-Undang KPK yang dalam proses penyusunannya menjelaskan kepada publik berbagai manuver dan kejanggalan yang ditunjukkan DPR dan pemerintah/Presiden.
"Sebagai contoh, UU KPK yang sedari awal tidak masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2019 tiba-tiba diselundupkan demi mempercepat proses revisi dan pengesahan. Tak hanya itu, pada saat pengesahan di rapat paripurna DPR pun tidak memenuhi kuorum. Diduga hanya sekitar 80-90 anggota yang hadir dari total 560 anggota DPR RI," ucap dia.
Tidak berhenti pada proses formil pengesahan revisi UU, niat melemahkan KPK pun tercermin dari substansi revisi.
"ICW mencatat setidaknya ada 15 poin krusial dalam UU KPK baru. Mulai dari menggeser makna independensi KPK, pembentukan instrumen pengawasan yang keliru, kewenangan berlebih dari Dewan Pengawas, penerbitan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan, sampai pada alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara," ujarnya.
Ia pun mencontohkan beberapa saat setelah pimpinan KPK baru terpilih dan UU KPK baru disahkan, dampak buruknya langsung terlihat.
BACA JUGA: Lembaga Antikorupsi Malaysia Nimba Ilmu di KPK
"Sebagai contoh, pertama pimpinan KPK gagal menjelaskan persoalan terkait rencana penyegelan kantor PDIP yang batal. Kedua, pimpinan KPK gagal melindungi tim KPK yang sedang mencari Harun Masiku di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK)," kata Kurnia.Poin ketiga, pimpinan KPK bertindak semena-mena terhadap penyidik KPK Kompol Rossa Purbo Bekti dan terakhir, pimpinan KPK memainkan politik "gimmick" seperti menjadi koki nasi goreng.
"Perlu dicatat, menurunnya citra positif KPK dalam pandangan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari rendahnya komitmen antikorupsi dari Presiden dan DPR. Sebab, baik proses pemilihan pimpinan KPK maupun pengesahan revisi UU KPK merupakan produk politik yang dihasilkan oleh Presiden bersama dengan DPR," tuturnya.
Berkaca dari hal itu, ICW menuntut agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK baru.