Seknas itulah yang menjadi pembina di PT Pengayom. Lewat kepemilikan sahamnya yang 5 persen.
”Koperasi sebenarnya baik,” ujar Dr. Edi Waluyo. ”Tapi koperasi sulit bekerja sama dengan partner swasta. Apalagi asing,” tambahnya.
Bukan, koperasinya yang tidak mau, tapi partnernya yang umumnya enggan.
Padahal, untuk bisa tumbuh besar kadang diperlukan partnership.
Belum lagi citra koperasi yang saat ini sudah terlalu terkait dengan instansi pemerintah. Yakni dinas koperasi di daerah. Koperasi juga sudah kurang mandiri. Terlalu tergantung pada bantuan dan fasilitas.
Itu yang tidak akan terjadi kalau bentuknya PT.
Misalnya PT Pengayom di desa Kebon Agung itu. Tidak pernah mendapat bantuan pemerintah. Toh bisa terus berkembang.
Bahkan sudah bisa ekspor beras organik ke Amerika, Singapura, dan Prancis.
Saya sampai membeli beberapa jenis beras produksi PT ini. Akan saya tulis di DI’s Way edisi berikutnya. Kapan-kapan.
Memang peralatan di pabrik beras PT Pengayom tidak sehebat yang ada di Bulog. Yang serba impor itu.
”Mesin ini buatan kami sendiri,” ujar Mahmudsyah, staf di PT itu. ”Habisnya tidak sampai Rp 1 miliar. Bisa untuk 6 ton sehari,” tambahnya.
Memang tidak terlihat ada merk asing di mesin penggilingan beras itu. Bahkan tidak ada merknya sama sekali.
Ups... Ada.
Tapi diam-diam Mahmudsyah punya 'dendam' di balik kata TAWON itu. Ia pun membisiki saya: TAWON itu singkatan Teknologi Anak Wonogiri.
Ia memimpikan suatu saat nanti Pengayom punya divisi teknologi pertanian yang cocok untuk pedesaan.