JAKARTA - Penurunan suku bunga acuan ke posisi 4,75 persen dari sebelumnya 5 persen, dianggap tidak akan signifikan mengairahkan kinerja industri dan perdagangan Indonesia.
Hal itu karena dilihat dari sepanjang 2019 di mana penurunan suku bunga oleh Bank Indonesia (BI) yang hingga mencapai 100 basis poin tidak berdampak penurunan signifikan terhadap suku bunga kredit perbankan.
“Mekanisme yang berlaku untuk kredit usaha adalah dengan menggunakan perhitungan aset vis a vis risiko kredit terhadap tiap kreditur, jangka waktu pinjaman, kemampuan dan target tiap bank. Jadi, saya melihatnya penurunan suku bunga BI dampaknya tidak dampaknya tidak terlalu signifikan terhadap industri dan perdagangan,” kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), kemarin (20/2).
Di sisi lain, lanjutnya, stimulus dan dorongan bagi perusahaan untuk berekspansi juga tidak akan signfikan. Sebab, pelaku usaha masih akan kesulitan untuk mendapatkan pinjaman atau kredit usaha dan maupun ekspor.
Dengan demikian, menurut dia, pelaku usaha akan melanjutkan proses efisiensi dan menggenjot produktivitas perusahaan. Adapun, langkah yang dilakukan para pengusaha itu karena antara lain, upah pekerja yang masih tinggi, aturan-aturan berusaha yang masih rumit dan kondisi perdagangan global yang melemah.
“Untuk itu dalam jangka pendek sedikit sekali yang bisa dilakukan pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing usaha nasional kalau kondisi iklim usaha dan iklim investasinya masih belum berubah,” tutur dia.
Namun, kata dia, penurunan suku bunga BI akan memberikan stimulus kepada kredit konsumsi perbankan. Dampak tersebut akan memberikan efek yang positif bagi perekonomian nasional karena didorong oleh pertumbuhan daya beli masyarakat. “Dampak kenaikan konsumsi akan menjadi pendukung ekspansi usaha secara tidak langsung,” katanya.
Sementara itu, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) menilai langkah BI yang sebagai otoritas moneter bertolak belakang. Untuk itu industri keuangan harus mempersiapkan internal bisnisnya menghadapi tantangan perekonomian ke depan.
"Ini agak lucu memang. Otoritas moneter kasih insentif, tetapi juga memangkas pertumbuhan ekonomi dan kreditnya. Namun, kebijakan ini perlu menjadi perhatian bagi semua pihak," kata Senior Faculty LPPI.
Dia memaparkan, disaat perang dagang berkecamuk pertumbuhan ekonomi di Tanah Air hanya tumbuh di angka 5 persen. Dan, saat ini semakin kompleks permasalahan adanya gejolak ekonomi global, hingga mewabahnya virus corona yang berpotensi melemahkan ekonomi Indonesia.
"Pertumbuhan ekonomi Cina dipangkas. Perusahaan di Cina bahkan meminta untuk menunda pembayaran gaji. Ini tentunya menjadi perhatian yang besar (Indonesia punya hubungan dagang yang kuat dengan Cina)," ujar dia.
Oleh karena itu, saran dia, perbankan harus melihat kembali potensi di dalam negeri. Terutama penyaluran kredit untuk usaha mikro kecil menengah yang lebih tahan goncangan ekonomi untuk didahulukan. "Harapan ada di dalam negeri. Itu yang harus dimaksimalkan oleh dari pihak debitur dan perbankan," tukas dia.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mengumumkan memutuskan menurunkan suku bunga acuannya dari 5 persen menjadi 4,75 persen.
kebijakan tersebut telah disesuaian dengan kondisi ekonomi global dan domestik. Diketahui, saat ini ekonomi dunia terancam melemah akibat mewabahnya virus corona.
"Kebijakan moneter tetap akomodatif dan konsisten dengan prakiraan inflasi yang terkendali, stabilitas eksternal yang aman serta langkah preventif untuk jaga momentum ekonomi domestik di tengah tertahannya ekonomi global sehubungan terjadinya Covid 19 (corona) dan untuk transmisi kebijakan yang akomodatif," ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, di Jakarta, kemarin (20/2).(din/fin)