JAKARTA - Polemik aktivitas perjalanan luar negeri buronan kasus dugaan suap penetapan Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR Harun Masiku semakin memanas. Buntutnya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dinilai tak profesional.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, tak terekamnya aktivitas Harun Masiku ke luar dan kembali ke Indonesia menjadi indikator bahwa Yasonna H Laoly selaku Menkumham bekerja tidak profesional.
"Kejadian ini justru memperlihatkan kelemahan-kelemahan yang terjadi di sektor ini, terutama dengan catatan keluar masuknya orang yang tidak mustahil para buronan termasuk di dalamnya," ujar Fickar ketika dikonfirmasi, Rabu (19/2).
Fickar menyatakan, seharusnya Ditjen Imigrasi dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga lalu lintas orang ke Indonesia. Karena, kata dia, hal ini menyangkut keamanan dalam negeri.
BACA JUGA: Ade Armando Buat Petisi Desak Jokowi Pecat Menkumham Yasonna Laoly
Pasalnya, menurut dia, Ditjen Imigrasi memiliki kewenangan dan kepentingan dalam memantau aktivitas keluar masuk seseorang ke Indonesia. Kendati, pintu masuk Indonesia tak hanya dijaga oleh Ditjen Imigrasi."Mestinya Imigrasi dan Kemenkumham menjadi garda terdepan menjaga lalu lintas orang yang keluar masuk Indonesia. Sehingga meski dalam konteks parawisata tidak ada persoalan, tetapi dalam konteks keamanan dalam negeri menjadi signifikan terutama dalam kaitannya dengan penegakan hukum," kata Fickar.
Fickar pun meminta Yasonna Laoly bertanggung jawab atas hal ini. Ia juga menyarankan Yasonna untuk mundur dari jabatannya.
"Menkumham harus bertanggung jawab, harus mundur atau dimundurkan, karena sepertinya sudah tidak konsentrasi di samping juga sering mencampuradukkan kepentingan partai dengan kepentingan negara dan kepentingan umum. Menkumham sedang berada di zona conflict of interest (konflik kepentingan) dan harus mundur," tegasnya.
BACA JUGA: Warga Priok Seruduk Kantor Kemenkumham, Desak Yasonna Minta Maaf
Senada, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menganggap, apapun hasil kerja yang dilakukan tim gabungan pemeriksa terhadap perlintasan keimigrasian Harun Masiku tak mengaburkan fakta bahwa Yasonna Laoly telah menyampaikan pernyataan tidak benar."Kasus ini sudah masuk di penyidikan kemarin. KPK ingin memproses Harun Masiku dan ini keliru, apapun dalih yang mereka keluarkan," ucap Kurnia.
Kurnia menyatakan, pihaknya bersama Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi tetap pada desakan awal agar KPK menyelidiki dugaan tindak pidana merintangi penyidikan (obstruction of justice) yang dilakukan Yasonna terkait penanganan perkara ini. Serta, meminta Presiden Jokowi menegur keras Yasonna atas kekeliruan data tersebut.
"Jadi seharusnya ini semakin mengkonfirmasi bahwa memang kekeliruan data itu menghambat proses hukum. Jadi hasil analisis itu tidak membenarkan pernyataan yang bersangkutan (Yasonna)," tandas Kurnia.
Pelaksana Tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri memastikan pihaknya dibantu kepolisian bakal terus mencari keberadaan serta menangkap Harun Masiku. Ia menyatakan, hal ini bakal terus dilakukan guna kepentingan pembuktian perkara.
"Saya yakin dan KPK berkomitmen menemukan tersangka karena itu kami berkepentingan selesaikan berkas perkara agar bisa dilimpahkan ke pengadilan. Pun kalau tidak ditemukan, itu akan jadi tanggung jawab karena untuk menyelesaikan berkas perkara dan disidangkan, ya harus ditemukan," tegas Ali Fikri.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan mantan Komisioner Komisi Pemilhan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, eks Caleg PDIP Harun Masiku, bekas Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, dan pihak swasta Saeful.
Wahyu diduga meminta fee sebesar Rp900 juta untuk meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR pengganti Nazarudin Kiemas yang telah meninggal dunia. Namun Wahyu baru akan menerima Rp600 Juta dari proses pelolosan tersebut.
Uang Rp600 Juta dibagi dalam dua tahapan. Pada tahapan pertama, ada aliran suap Rp400 juta yang saat ini masih didalami sumbernya. Hanya saja, Wahyu hanya menerima senilai Rp200 Juta dari total Rp400 Juta. Sisanya atau senilai Rp200 Juta, diduga digunakan oleh pihak lain.