JAKARTA - PT Freeport Indonesia menyampaikan dampak penghentian kegiatan produksi di tambah terbuka, menyebabkan produksi tembaga di 2019 turun drastis hingga 50 persen.
Presiden Direktur Freeport Indonesia, Tony Wenas mengatakan, bahwa proses penambangan terbuka sudah selesai pada 2019 akhir lalu.
"Sebab, agar agar tambang bawah tanah tersebut bisa dibangun sepenuhnya, maka kegiatan di atasnya memang harus dihentikan," kata dia, di Jakarta, Rabu (19/2).
Lanjut dia, saat ini Freeport Indonesia sedang dalam masa transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah. Sehingga produksi tembaga yang dihasilkan pada 2019 dan 2020 turun secara signifikan.
BACA JUGA: Tambah Pasukan Jaga Freeport
"2019 dan 2020 adalah penurunan drastis, sekitar 50 persen dari kapasitas normal. Harapannya pada 2021 bisa meningkat 75-80 persen. 2022 sampai 100 persen normal atau 220 ribu ton per hari." ujar dia.Juru Bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama, menambahkan bahwa sejauh ini meski mewabahnya virus corona untuk ekspor tembaga belum terganggu. "So far sih belum ada pengiriman ke Cina, jadi tidak terganggu," kata dia.
Ekspor, kata dia, selama ini paling banyak ke Jepang dan Korea. Sehingga ekspor tambang Freeport Indonesia tak alami gangguan terkait virus corona.
Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot Ariyono berharap produksi tembaga Freeport dapat kembali maksimal pada 2021, sehingga bisa berdampak baik pada perekonomian Papua.
"Diharapkan, di 2021 sudah ada produksi full capacity yang nantinya akan menghasilkan dividen, sehingga dividen itulah yang dalam tiga-empat tahun akan digunakan untuk menyelesaikan pinjaman," ujar dia.
Diakui, memang penurunan produksi tersebut akibat peralihan ladang tambang Grasberg ke lahan bawah tanah. Sehingga produksi bijih besi emas dan tembaga Freeport tidak maksimal, dan juga serapan tenaga kerja di Papua juga ikut menurun.
"Jadi memang kapasitas (operasinal-nya) turun, jadi yang terlibat mesti turun, pegawai turun, kontraktor turun semua karena memang kegiatan perpindahan fase," ungkap Bambang.
Kendati demikian, diharapkan produksi tersebut akan kembali mencapai 100 persen pada 2021. Dengan demikian, Freeport bisa mengembalikan pinjaman yang dilakukan Inalum sebagai wakil pemerintah saat mengambil alih kepemilikan saham PT Freeport Indonesia menjadi sebesar 51 persen.
Terpisah, Ekonom INDEF, Nailul Huda menilai memang lantaran adanya transisi kegiatan dari tambang terbuka ke bawah tanah sehingga menyebabkan produksi menjadi menurun.
Selain itu, biaya peralihan kegiatan itu juga menyebabkan biaya yang dikeluarkan menjadi bertambah. Namun, seharusnya hal itu bisa diantisipasi sebelumnya. "Seharusnya bisa diantisipasi kerugiannya," kata Huda kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Rabu (19/2).
Terkait Freeport, Kementerian BUMN sebelumnya menunjuk Claus Wamafma menjadi direktur PT Freeport Indonesia (PTFI). Claus merupakan putra Papua pertama yang turut menjadi bos perusahaan tambang tersebut.
BACA JUGA: Produksi Emas dan Tembaga PT Freeport Anjlok
Penunjukkan Claus sebagai direktur dilakukan pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Freeport Indonesia di Kementerian BUMN pada 7 Februari 2020. Memang, ada kekosongan kursi di tubuh Freeport sejak ditinggalkan oleh sejumlah direksi dan komisaris.Sebelumnya, Claus pernah menjabat sebagai Senior Vice President (SVP) di PT Freeport Indonesia, membawahi Corporate Social Responsibility (CSR), partnership fund serta community development.