Tolak Keras RUU Omnibus Law Ciptaker, KSBSI : Ada Tiga Aspek Pokok

fin.co.id - 19/02/2020, 15:02 WIB

Tolak Keras RUU Omnibus Law Ciptaker, KSBSI : Ada Tiga Aspek Pokok

JAKAARTA - Rencana Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) kini telah masuk ke DPR. RUU Omnibus Law Cipta Kerja dinilai tidak pro terhadap buruh sehingga suara penolakan atas RUU makin nyaring terdengar, bahkan berbagai elemen organisasi buruh mengancam akan turun kejalan demi menolak RUU tersebut.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban menegaskan seluruh elemen buruh yang tergabung dalam KSBSI akan menolak RUU Omnibus Law dengan melakukan aksi unjukrasa diberbagai daerah. "kita akan aksi turun ke jalan, mulai tanggal 2 Maret 2020 dan puncaknya tanggal 11 Maret 2020, semua berpusat di kantor DPRD tingkat 1 dan 2," katanya dalam konfrensi persnya di kantor KSBSI Jakarta , Rabu (19/2).

Menurutnya, setelah dilakukan pengkajian mendalam terdapat tiga alasan pokok penolakan RUU RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pertama yakni Aspek Filosofis, sesuai amanta UUD 1945 pasal 27 ayat 2 dan pasal 28D bahwa Negara memiliki tanggungjawab untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya dimana setiap warga negara berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak termasuk kelangsungan kerja dan jaminan upah untuk hidup layak.

Dalam konteks sekarang di UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ada jaminan dimana upah dilakukan review per-1 tahun yang terdapat 3 runutan sistem pengupahan yaitu UMP, untuk meningkatkan pendapatan pekerja, buruh diberlakukan UMK, untuk menambah kemakmuran lebih baik melalui UMSK. "Lalu bila sekarang RUU Cipta Kerja menghapuskan sistem tersebut maka pengelola negara tidak lagi dalam posisi menjalankan UUD 1945 bahkan mendegradasi, maka kami menilai RUU ini harus ditolak karena bertentangan dengan konstitusi tertinggi negara ini," jelasnya.

Lalu kedua yakni Aspek Sosiologis, lanjut Elly Rosita Silaban, bahwa sekarang ada norma membatasi praktek kerja kontrak. Dengan pembatasan sistem kontrak selama ini, dimana-mana terjadi pensiasatan sehingga kontrak berlangsung puluhan tahun. Dengan adanya RUU ini, maka kondisinya berarti pembenaran pada praktek-praktek buruk yang ada selama ini. KSBSI sebagai Serikat buruh berjuang agar pembatasan tersebut tetap diberlakukan sehingga para buruh Indonesia, calon-calon para pekerja/buruh tidak terjerembab pada status kehidupan sosial yang bernama buruh kontrak.

Karena nilai yang tercantum dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih jauh lebih baik dari RUU Cipta Kerja. Oleh karenanya prinsip pembentukan undang-undang bila ditinjau dari sisi sosiologis adalah menciptakan kaidah baru yang nilainya harusnya lebih baik dari yang ada saat ini, kenyataannya bila dikonfirmasi apa yang diatur dalam RUU Cipta Kerja nilainya lebih buruk dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. "berarti cukup membahayakan bagi kehidupan masyarakat dan karenanya kami menolaknya," ujarnya.

Selanjutnya, untuk aspek ketiga yakni Aspek Juridis. Landasan hukum pembentukan RUU Cipta Kerja adalah UU No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang sebagaimana diubah dengan UU yang terbaru No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang. Prinsip dasarnya adalah segala aturan perundang-undangan yang diciptakan oleh negara harus melalui proses yang disebut sosialisasi pada awal proses awal pembentukan.

Dari rencana pembentukan saja menurut UU No. 12 tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU yang terbaru No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang, seharusnya sudah dilakukan sosialisasi melalui semacam proses hearing dengar pendapat terhadap sebuah rencana yang diaktualisasikan terhadap apa yang disebut dengan Naskah Akademik (NA).

"Oleh karenanya berdasarkan pandangan secara juridis apa yang dibuat dalam RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan sesungguhnya kalau kita berangkat pada prinsip yang dianut oleh republik ini, sebagai sebuah negara kontinental maka sesungguhnya Omnibus law bertentangan dengan prinsip hukum yang dianut oleh Indonesia," tegasnya.

Sebab, lanjut Elly, ini adalah prinsip yang dianut oleh negara sistem common law. Oleh karenanya dari sisi juridis tersebut KSBSI menyarankan nilai yang ada di UUK No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan semestinya sebagai batu loncatan untuk membuat norma yang lebih baik, bukan mendegradasi menjadi lebih buruk. "Inilah aspek juridisnya pembentukan undang-undang ini tidak memenuhi kriteria, oleh karenanya haruslah di tolak," katanya.

Disisi lain, kat Elly, KSBSI sebagai organisasi yang berdiri sejak tahun 1992 berprinsip mendukung pemerintah dan tindakannya yang pro pada kehidupan masyarakat dan buruh, namun KSBSI memutuskan sikap apabila selama ini pemerintah yang zolim pada pekerja/buruh, maka KSBSI di depan untuk Melawan. Sikap ini akan dikampanyekan secara Nasional karena prinsip-prinsip pembentukan perundang-undangan telah dilanggar oleh pemerintah.

Lalu soal adanya jebakan yang dibuat oleh Kemenko Bidang Perekenomian yang mengundang sejumlah pihak untuk masuk dalam sebuah tim yang awalnya tidak KSBSI ketahui sesungguhnya apa maksud dan tujuannya, dan keikutsertaan KSBSI hanya untuk melitigasi proses yang telah ada. "maka dengan ini kami menyatakan keluar dari tim itu dan tidak bertanggungjawab atas apapun yang dilakukan oleh tim tersebut. Seiring dengan itu juga, kami menarik utusan KSBSI dari tim yang telah dibentuk oleh Kemenko Bidang Perekenomian sebagaimana yang tercantum dalam Kepmenko Bidang Perekonomian No. 121 Tahun 2020 tentang Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Substansi Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja," tutupnya.(Lan/Fin)

Admin
Penulis