JAKARTA - Dua Omnibus Law, yakni Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan yang digadang-gadang menarik investasi, namun bisa berpotensi menggerus otonomi daerah dan kewenangan pemerintah daerah (pemda)
Pasalnya, dalam Rancangan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang menyebar ke awak media, menunjukkan kewenangan presiden atas seluruh aspek pemerintah semakin absolut.
Hal ini, bisa dilihat dalam Pasal 166 yang secara keseluruhan merevisi UU No 23/2014 hingga UU No 9/2015 tentang pemda, pemerintah mengusulkan untuk merevisi Pasal 251 dari UU Pemda.
Pasal 251 versi UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa perda provinsi hingga Perda kabupaten/kota serta peraturan kepala daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten dan kota dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Disebutkan, peraturan-peraturan pada level daerah tersebut dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku langsung melalui peraturan presiden. Jika pemda masih bersikukuh memberlakukan peraturan yang telah dibatalkan melalui perpres oleh presiden, maka pemda bisa dikenai sanksi administratif dan sanksi penundaan evaluasi rancangan Perda.
Sanksi administratif yang dimaksud yakni tidak dibayarkannya hak keuangan kepala daerah dan anggota DPRD selama tiga bulan. Dahulu, perda povinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dicabut secara langsung oleh menteri dalam negeri.
Apabila terdapat perda kabupaten/kota ataupun peraturan kepala daerah yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka gubernur setempat selaku perwakilan pemerintah pusat yang berhak membatalkan perda tersebut.
Ketentuan-ketentuan tersebut pada akhirnya dibatalkan oleh dua Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yakni Putusan No 137/PUUXIII/2015 dan Putusan No 66/PUU-XIV/2016. Alasan MK, kewenangan menteri dalam negeri ataupun gubernur untuk mencabut perda dan peraturan kepala daerah adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 18 Ayat 6, Pasal 28D Ayat 1, dan Pasal 24A Ayat 1 UUD 1945.
BACA JUGA: Korban Virus Corona di Kapal Pesiar Bertambah Jadi 218
Dengan adanya dua putusan tersebut, MA menjadi institusi tunggal yang berwenang untuk membatalkan peraturan daerah baik perda maupun peraturan kepala daerah. Artinya, pemerintah pusat kembali menghidupkan pasal yang telah dibatalkan oleh MK pada 2015 dan 2016 lalu.Soal perizinan, pemerintah merevisi Pasal 350 dari UU Pemda dan dalam pasal terbaru dituangkan bahwa pelayanan berizinan berusaha wajib menggunakan sistem perizinan elektronik yang dikelola oleh pemerintah pusat. Apabila tidak menggunakan sistem tersebut, maka akan kena ancaman sanksi, yakni teguran tertulis yang tidak digubris oleh kepala daerah sebanyak dua kali berturut-turut, pemerintah pusat dapat mengambil alih kewenangan perizinan berusaha dari gubernur. Gubernur juga diberi kewenangan untuk mengambil alih kewenangan perizinan berusaha dari bupati/wali kota.
Pada Pasal 164, tertulis jelas bahwa dengan berlakunya UU Cipta Kerja, maka kewenangan menteri, kepala lembaga, ataupun pemda yang telah ditetapkan dalam UU Cipta Kerja wajib dimaknai sebagai kewenangan presiden. Contoh dari semakin kuatnya kewenangan pemerintah pusat atas urusan daerah adalah terkait penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Apabila pemda belum menyusun RDTR, maka pelaku usaha dapat mengajukan perizinan pemanfaatan ruang kepada pemerintah pusat dan pemerintah pusat pun bisa menyetujui kegiatan tersebut sesuai dengan rencana tata ruang.
Terpisah, Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menjelaskan, Omnibus Law merupakan upaya pemerintah untuk menata peraturan perundangan yang tumpang tindih dan bersifat menghambat investasi.
Dia menjelaskan, berkaca dari pengalaman 16 paket kebijakan yang lalu meskipun pemerintah sudah mengeluarkan aturan yang melonggarkan ternyata tidak efektif. Hal ini lantaran aturan atau UU yang lain yang masih mengatur dan menghambat.
BACA JUGA: Polisi: Lucinta Luna Perempuan
"Makanya semua aturan atau UU itu harus diharmonisasikan dan diselaraskan. Kalau sudah diatur di pusat ya jangan ada aturan lain yang bertentangan di daerah," kata dia kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (14/2).Menuru dia, bila semua aturan tersebut diperbaiki akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Karenanya melalui pendekatan Omnibus Law menjadi lebih efisien. Salah satunya, UU untuk mengubah menyelaraskan puluhan UU.
"Jadi niat dari Omnibus law ini sangat baik. Kita harus akui bahwa selama ini aturan perundangan Kita banyak yang tumpang tindih. Utamanya antara aturan pusat dan daerah," ujar dia.