Tapi seorang ilmuwan lainnya justru jadi korban media sosial. Ia seorang peneliti virus. Namanya: Shi Zhengli.
Sepuluh tahun lamanya peneliti itu keluar masuk gua gelap nan berbau.
Zhengli melakukan penelitian terhadap gua-gua kelelawar. Yang dulu dianggap sumber wabah SARS.
Setiap kali masuk gua dia mengenakan pakaian anti virus secara lengkap. Sambil terus menahan bau busuk di dalam gua itu.
Yang dia kerjakan di dalam gua itu adalah mengumpulkan kotoran (tahi) kelelawar. Untuk dibawa pulang. Sebagai bahan penelitian.
Semua gua di 28 provinsi di Tiongkok sudah dia masuki. Dialah kolektor tahi kelelawar paling lengkap di dunia. Dia punya semua tahi kelelawar dari jenis apa pun yang ada di seluruh Tiongkok.
Peneliti ini bekerja di laboratorium Biosafety National Tiongkok. Lokasi laboratoriumnya di Kota Wuhan.
Begitulah ceritanya mengapa ada isu yang sempat viral. Bahwa virus ini datang dari laboratorium yang bocor.
Peneliti itu pun jadi bulan-bulanan media sosial. Dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas matinya begitu banyak manusia.
Hujatan itu dilancarkan berhari-hari. Kian lama kian kejam. Sampai ada yang menyebut peneliti itu sebagai ”induk segala setan”.
Baru belakangan hoax itu reda sendiri. Terutama setelah diumumkan bahwa asal virus Wuhan dari pasar ikan yang juga menjual kelelawar dan ular.
Ada kemungkinan darah dari kelelawar dan ular itu muncrat ke mana-mana. Termasuk ke tangan orang yang memotong-motong binatang itu. Atau juga liur binatang itu ikut muncrat ke manusia.
Sebagai bukti korban terbanyak virus Wuhan awalnya adalah mereka yang memiliki kios di pasar itu. Bukan para pegawai laboratorium.
Untung saja laboratorium tahi kelelawar itu tidak sampai jadi sasaran kemarahan dan kekerasan.
Kisah merebaknya virus Wuhan ini mengingatkan saya ke Carlos Ghosn.