JAKARTA - Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI) mendesak Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) perlu memasukkan pasal-pasal yang mengatur pembangunan penghasil panas bumi (geothermal).
Ketua Umum ADPPI Hasanuddin menguraikan lima alasan perlu adanya regulasi tersebut. Tentu yang pertama adalah besarnya potensi panas bumi yang berperan sebagai kedaulatan energi Indonesia di masa depan.
”Perkiraan cadangan 29.543 MW tersebar di 330 lokasi prospek dan baru dimanfaatkan sebesar 2,088,5 MW (akhir Tahun 2019) di 15 Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) di Indonesia," kata ia di Jakarta, Rabu (5/2).
Hal itu membuat Geothermal memiliki spesialisasi dalam pengusahaannya. Maka telah diatur tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panasbumi. Undang-undang ini kata Hasanuddin merupakan penyempurnaan dari UU Panasbumi sebelumnya (UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panasbumi).
"Hingga kini regulasi Panasbumi masih mengacu pada Keppres Nomor 22 Tahun 1981, Keppres Nomor 45 Tahun 1991 dan Keppres Nomor 76 Tahun 2000 tentang Pengusahaan Panasbumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik," jelas Hasanuddin.
Ia juga menerangkan, karena panasbumi menjadi bagian dari sumber energi terbarukan, maka sumber energi panasbumi menjadi bagian dalam pengaturan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, yang kedudukan UU ini (dalam perspektif panasbumi) merupakan Pengaturan Umum (Lex Generalis) sumber-sumber energi, dan secara khusus pengusahaannya diatur tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panasbumi, yang kedudukannya sebagai Lex Spesialis.
Alasan keempat kata Hasanuddin berkenaan dengan lanasbumi yang juga akan diatur dialam UU EBT, tentu harus diapresiasi, karena RUU ini menegaskan proyeksi strategis pemanfaatan energi terbarukan dimasa yang akan datang. Namun, hal ini berpotensi menimbulkan masalah dan ketidakpastian.
"Oleh karenanya perlu sinergisitas ketiga UU ini, sehingga tidak tumpang tindih dan kontradiktif satu sama lain, antara; UU Energi dan UU Energi Baru Terbarukan (Draft RUU EBTE) dengan UU Panasbumi," terang Hasanuddin.
Untuk menghindari hal tersebut, maka kata Hasanuddin di dalam draft RUU EBT perlu pengaturan secara tersendiri energi panasbumi melalui undang-undang tersendiri yang sudah ada, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panasbumi. "Secara redaksional, maka didalam RUU EBT perlu dimasukkan pasal mengenai - Ketentuan lebih lanjut mengenai Panasbumi diatur dalam Undang-Undang tersendiri," terangnya.
Lebih lanjut Hasanuddin mengatakan, pengusahaan geothermal juga dipengaruhi oleh faktor besarnya biaya (high cost), teknologi (high tech) dan rentan resiko (High Risk). Dari tiga faktor itu, panas bumi juga berimbas munculnya resiko sosial dan perubahan regulasi.
"Resiko perubahan regulasi ini, diataranya ketidakpastian harga jual tariff listrik yang skemanya berubah-ubah, dan negosiasi yang panjang. Kini resiko itu bertambah dengan adanya RUU EBT (jika dalam pengaturannya, Panasbumi tidak diatur secara tersendiri)," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengatakan berdasarkan skema feed in tariff kali ini harga akan dibedakan berdasarkan jenis sumber EBT-nya karena setiap EBT memiliki perbedaan biaya dan teknologi. “Contohnya geothermal, lain dengan solar panel, lain dengan biomassa, dengan hydro. Kalau geothermal kan mirip-mirip migas, mengebor, dan survei,” tutur Arifin.
Arifin menambahkan, kebijakan baru ini bertujuan agar ramah investor dan pembangunan pembangkit EBT tetap berjalan. “Kan kemarin feed in tariff diberlakukan untuk semuanya, sehingga tidak jalan. Yang cost-nya mahal, masa mau dijual murah, malah rugi,” tutur Arifin.
Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Febby Tumiwa mengatakan, regulasi UU EBT menurutnya sangat penting menjadi dasar hukum yang kuat.
“Jadi dengan adanya UU EBT ini dasar hukum menjadi lebih kuat. Selain itu juga dari UU yang ada ada sejumlah kekurangan dalam membangun ekosistem energi terbarukan. Diharapkan kekurangan ini dapat ditutupi oleh UU EBT,” ujar dia.