News . 04/02/2020, 01:15 WIB

Penyidik KPK Jangan Asal Sadap

Penulis : Admin
Editor : Admin

JAKARTA - Pemerintah menyebut izin penyadapan yang diatur dalam Pasal 12B, 12C dan 12D UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Penegasan ini terkait enam perkara yang sama-sama menggugat revisi UU KPK, yakni perkara nomor 62/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 71/PUU-XVII/2019, 73/PUU-XVII/2019, 77/PUU-XVII/2019 dan 79/PUU-XVII/2019.

Dalam sidang dengan agenda mendengar keterangan pemerintah dan DPR di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (3/2), Staf Ahli Menteri Kementerian Hukum dan HAM Agus Hariadi yang mewakili pemerintah mengatakan, penyadapan merupakan perbuatan yang secara umum dilarang atau ilegal.”Agar penyadapan menjadi legal dengan tujuan penegakan hukum, maka diperlukan izin,” terangnya.

Kewenangan penyadapan dan merekam pembicaraan sesuai ketentuan Pasal 12 sebelum revisi tanpa adanya izin, lanjut dia merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan kaidah hukum. ”Dalam revisi pasal tersebut bertujuan untuk menyempurnakan substansi tentang kewenangan penyadapan untuk diatur sesuai kaidah hukum, yakni dengan ketentuan pasal 12B, 12C dan 12D,” jelasnya.

Ada pun Pasal 12B mengatur penyadapan dan penggeledahan harus dilakukan atas seizin dewan pengawas setelah pimpinan KPK mengajukan permintaan secara tertulis. Selanjutnya dewan pengawas dapat memberikan izin tertulis paling lama 24 jam setelah permintaan diajukan.

Dalam kesempatan itu, pemerintah pun menjelaskan dihapusnya Pasal 19 ayat (2) tentang pembentukan perwakilan di daerah tidak untuk melemahkan pemberantasan korupsi, melainkan untuk memaksimalkan fungsi organ pemerintah yang berkaitan.”Penghapusan norma Pasal 19 ayat (2) juga merupakan kewenangan open legal policy. Pembentuk undang-undang dengan memperhatikan kebutuhan hukum dan sebagai upaya negara untuk mendorong pemberantasan korupsi agar lebih efektif sehingga dapat berdaya guna,” jelas Agus Hariadi.

Agus menambahkan, pada posisi ini kedudukan Dewan Pengawas KPK tidak hierarkis atau membawahi lembaga antirasuah tersebut. ”Tidak saling membawahi, namun saling sinergi dalam upaya melakukan tindakan pemberantasan korupsi,” tutur Agus Hariadi.

Pembentukan Dewas, kata dia, untuk menjadikan KPK tidak lagi bersifat absolut dan sesuai penerapan sistem pemerintahan yang berlandaskan UUD NRI 1945. Keterangan tersebut untuk menjawab dalil para pemohon bahwa pembentukan Dewan Pengawas bertujuan untuk melemahkan pemberantasan korupsi.

Selanjutnya terkait KPK termasuk lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif, Agus Hariadi menuturkan KPK bukan termasuk lembaga yang disetarakan dengan lembaga yang memiliki independensi yang diatur dalam UUD 1945. KPK merupakan lembaga penunjang pemerintahan sebagai fungsi pelaksana pemerintahan. yakni membantu tugas kepolisian dan kejaksaan agar lebih efektif. ”KPK dengan polisi dan jaksa masih memiliki hubungan kerja untuk saling membantu, saling koordinasi dan saling bekerja sama sebagaimana ketentuan Pasal 11 undang-undang tersebut,” ucap Agus Hariadi.

Sebelumnya, permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak diterima MK karena kerugian pemohon dinilai tidak spesifik. Pemohon yang merupakan advokat bernama Martinus Butarbutar dan Risof Mario mendalilkan UU KPK adalah praktik penyelenggaraan negara kekuasaan yang mengancam setiap pribadi rakyat Indonesia.

”Mahkamah tidak dapat memahami kerugian konstitusional apa yang sebenarnya diderita oleh para pemohon dengan keberlakuan Pasal 37C ayat (2) UU KPK," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK , Jakarta, Rabu (29/1).

MK menilai pemohon sebagai warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat tidak menjelaskan dengan detail kerugian konstitusional yang diderita dengan berlakunya Pasal 37C ayat (2) UU KPK. Sebab itu, Arief Hidayat mengatakan tidak nampak adanya hubungan sebab akibat dari keberlakuan Pasal 37C ayat (2) UU KPK dengan kerugian yang diderita oleh pemohon.

Dalam menerangkan kerugian hak konstitusionalnya, pemohon hanya bersandar pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur konsep negara hukum. ”Menurut Mahkamah ketentuan dimaksud bukanlah merupakan alas untuk menyatakan kerugian hak konstitusional,” kata Arief Hidayat.

Dengan begitu, pemohon dinilai tidak memenuhi syarat kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Ada pun pada 2019, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diujikan sebanyak sembilan kali. Satu di antaranya sebelumnya telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterima. (fin/ful)

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com