Daerah Sangat Butuh Guru Honorer

fin.co.id - 01/02/2020, 15:14 WIB

Daerah Sangat Butuh Guru Honorer

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

MUSI RAWAS - Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) akan menghapus tenaga honorer secara bertahap dalam lima tahun ini, termasuk guru. Maka, bagi sekolah yang masih merekrut tenaga guru honorer akan mendapatkan sanksi. Hal itu sesuai pasal 96 Peraturan Pemerintah nomor 49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

Dalam pasal tersebut dinyatakan, bahwa PPPK dilarang mengangkat pegawai nonPNS dan atau nonPPPK untuk mengisi jabatan ASN.

Lantas bagaimana nasib guru honorer saat ini?

Mereka didorong untuk mengikuti seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sesuai dengan peraturan perundangan. Salah satu persyaratannya adalah batasan umur tidak melebihi 35 tahun dan bagi tenaga honorer yang tidak memenuhi persyaratan CPNS, dapat mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Musi Rawas (Disdik Mura) H Irwan Evendi melalui Sekretaris Hartoyo menilai, kebijakan itu diputuskan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

“Sebab, kalau guru diseleksi jalur CPNS, jelas kualitasnya akan bagus. Termasuk kalau masuk jalur PPPK, karena ada system seleksi yang ketat. Berbeda dengan honorer komite, yang biasanya langsung mengajar tanpa seleksi. Tapi bukan berarti kami meragukan kualitas guru honorer komite. Sebab, sejauh ini guru honorer di Musi Rawas banyak juga yang berprestasi bahkan level Sumsel dan nasional,” jelas Hartoyo.

Menurut Hartoyo, selain honorer komite, ada 500-an guru yang juga diseleksi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Musi Rawas (Disdik Mura). Mereka yang lulus mendapat insentif Rp 650 ribu sampai Rp 750 ribu per orang. Guru-guru ini selalu dievaluasi kinerjanya setiap tahun. Bagi yang bagus, akan diperpanjang masa kerjanya. Sementara bagi yang dinilai kinerjanya tak bagus, biasanya tereliminasi.

Hartoyo menjabarkan setiap jenjang SD minimal memiliki Sembilan guru. Enam guru kelas, satu guru penjaskes, satu guru agama dan satu kepala sekolah. Sementara untuk guru jenjang SMP minimal 12 guru untuk guru mata pelajaran.

Sementara yang ada saat ini, jelas Hartoyo, ada beberapa desa yang mayoritas gurunya honorer. Hanya satu atau dua saja yang PNS, termasuk kepala sekolah. Hal itu terjadi karena jumlah guru yang diangkat tak sebanding dengan jumlah guru yang pensiun.

Menurutnya, jika sampai sekolah disanksi ketika merekrut honorer, akan memberatkan sekolah. Hartoyo yakin hal itu tak hanya akan terjadi hanya di Musi Rawas, namun juga di daerah-daerah se-Indonesia.

Kalau di Mura, daerah-daerah yang cenderung di pedalaman pasti kekurangan guru. Bukan hanya di Kecamatan BTS Ulu, Muara Lakitan dan Selangit. Di Kecamatan Muara Beliti yang dalam pun kekurangan guru.

Kekurangan guru ternyata juga terjadi di Kota Lubuklinggau. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lubuklinggau Dr H Tamri mengatakan, kebijakan ini setidaknya memberikan gambaran bahwa pemerintah pusat tak mau lagi terbebani soal honorer.

“Ya, menurut saya begitu. Kalaupun pemerintah daerah butuh guru, ya tanggung jawab insentifnya di daerah. Tidak membebani pusat lagi. Sebab selama ini kan gaji honorer bergantung pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang notabene dikucurkan melalui APBN,” jelas Tamri.

Disamping itu, selama ini ketika mengangkat honorer seolah-olah bisa dijadikan PNS. Nampaknya, kata H Tamri, pemerintah pusat akan menghilangkan pengertian itu.

Sementara kondisi di lapangan, Lubuklinggau khususnya sangat butuh guru honorer. Tahun 2019 saja, ada 300-an guru yang pensiun, didominasi guru SD. Sementara CPNS guru yang baru diangkat hanya sekitar 25-an orang. Jadi kebutuhan guru sama sekali belum tertutupi.

Admin
Penulis