JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mendalami kasus dugaan korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang merugikan keuangan negara Rp4,7 triliun. Lima orang diperiksa sebagai saksi untuk mencari tersangka dalam kasus tersebut.
/p>
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan pisaknya masih terus mengumpulkan bukti dugaan korupsi Rp4,7 triliun dalam pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI. Hari ini, lima saksi akan diperiksa tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus.
/p>
Diungkapkannya, para saksi yang diperiksa adalah DWKW selaku Kepala Divisi Kepatuhan LPEI, IS selaku Relationship Manager (RM) pada Divisi Pembiayaan Bisnis I periode 2017, KW selaku Kepala Divisi Pembiayaan I LPEI periode 2010-2013, AH selaku Kepala Divisi Pembiayaan Bisnis I LPEI periode 2018, dan IAS selaku Kepala Departemen pada Divisi Pembiayaan Bisnis I LPEI periode 2012-2016.
/p>
"Para saksi diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit pada Debitur di LPEI," katanya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/9).
/p>
Dikatakannya, keterangan para saksi dibutuhkan untuk menemukan fakta apa yang didengar, dilihat dan dialaminya.
/p>
"Agar ditemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI," katanya.
/p>
Pada Senin (13/9), Kejagung juga memeriksa VP, seorang pejabat di LPEI sebagai saksi. VP selaku Kepala Departemen Loan Settlement LPEI diperiksa terkait proses pencairan fasilitas kredit kepada debitur LPEI.
/p>
Sebelumnya, Leonard mengatakan pihaknya tengah usut kredit macet LPEI kepada 9 perusahaan.
/p>
"Pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen resik dalam posisi colektibility 5 atau macet per tanggal 31 Desember 2019," ujarnya, Rabu (30/6).
/p>
Dikatakannya, LPEI diduga melakukan penyaluran kredit tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39 persen.
/p>
"Dimana berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)," jelasnya.
/p>
Diterangkan Leonard, berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun itu meningkat 807,74 persen dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada profitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN ini untuk mengkover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalah di antaranya disebabkan oleh ke - 9 debitur.
/p>
"Bahwa salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia dimana selaku Direktur Utama dari 3 (tiga) perusahaan tersebut adalah Sdr S," ujarnya.
/p>
"Pihak LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI," tambahnya.
/p>
Akibatnya, hal tersebut di atas menyebabkan debitur dalam hal ini Group Wallet yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia dikategorikan macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp 683,6 miliar yang terdiri dari nilai pokok Rp 576 miliar dan denda serta bunga Rp 107, 6 miliar.(lan/gw/fin)