Indonesia Konsumsi BBM Berkualitas Rendah

Indonesia Konsumsi BBM Berkualitas Rendah

JAKARTA - Indonesia masih jauh tertinggal dari negara lain dalam hal pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan. Bagaimana tidak, Indonesia konsumsi BBM berkualitas rendah dibandingkan negara lain. Negara lain sudah menerapkan Euro 3 dan Euro 4, sementara Indonesia belum lolos dengan Euro 2 karena melanggengkan BBM RON rendah. Dan adopsi biofuel baik B30 dan BE10 sebagai opsi meningkatkan supply kiranya belum benar-benar efektif melepas jerat impor BBM. Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin mengatakan buruknya kualitas BBM telah berdampak pada pencemaran udara dan emisi rumah kaca di berbagai kota berikut dampak kesehatan, ekonomi dan sosial serta ketahanan nasional. "Selain itu buruknya kualitas BBM ini telah menghambat adopsi teknologi advance yang sesunguhnya mampu menekan konsumsi BBM baik dalam bentuk," kata Ahmad di Jakarta, kemarin (1/1). Sampai dengan akhir Juli ini, data AirVisual menunjukkan bahwa Air Quality Index (AQI) Jakarta mencapai 184 atau tidak sehat (151-200) dimana Jakarta dinobatkan sebagai kota dengan polusi terparah. Polusi udara merupakan ancaman kesehatan di banyak negara. Dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran redpirasi (paru) Agus Dwi Susanto mengungkapkan bahwa tingginya jumlah kendaraan bermotor di perkotaan menyebabkan masyarakatnya memiliki konsekuensi terpapar polutan berbahaya, dari gas emisi kendaraan maupun partikel debu di jalanan. "Gas emisi kendaraan bermotor merupakan salah satu sumber polusi udara tertinggi di Jakarta. Konsekuensi inilah yang menyebabkan masyarakat kota Jakarta dan perkotaan lainnya perlu melakukan upaya pencegahan yang tepat dari dampak kualitas udara yang buruk," jelas Low Vehicle Emission Standard maupun Low Cabon Emissin Standard atau Fuel Economy Standard. Selain itu, pengalaman di berbagai negara penerapan BBM betkualitas tinggi berikut CBA yang dilakukan di Indonesia mampu memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan hidup (daya saing industri, kesehatan masyarakat, penghematan BBM). Namun demikian, kiranya masih ada keraguan dalam upaya menerapkan Low Vehicle Emission Standard sesuai dengan regulasi (car manufacturer waits and see) sehingga menghambat the needs or demand pada BBM ramah lingkungan. "Ditambah lagi, sikap pemerintah yang ambivalence sehingga tidak menetapkan fiscal policy dan fuels specification yang sesuai dengan engine technology requirement dan sesuai kualitas BBM yang dijadikan sebagai patokan penetapan harga (transparence principle on pricing policy); telah berakibat pada gagalnya adopsi advance technology yang sesungguhnya mampu menciptakan efisiensi dan konservasi energy (BBM) yang sangat significant," terang Ahmad. Untuk melepas jerat impor BBM dan peningkatan kualitas BBM sebagai prasyarat LEV dan LCEV guna mencapai ketahanan energi nasional, dengan menempuh hal-hal sebagi yakni membangun kilang yang diintegrasikan dengan petrochemical industry, terutama kilang-kilang stand alone dan co-processing BNN. Guna menghentikan dampak negatif buruknya kuaitas BBM, pemerintah harus segera menetapkan spesifikasi minimal dan memproduksi jenis BBM yang memenuhi persyaratan untuk kendaraan berstandard Euro 4/IV seperti bensin RON 91/95 sulfur 50 ppm max, Benzene max 2,5 persen/1 persen dan solar CN 51/53 sulfur 300/50 ppm max, PAH max 10 persen."Kemudian menghentikan produksi/pemasaran BBM yang tidak ramah lingkungan. Opsi CNG/LNG, BBN dan Kendaraan Listrik mutlak harus ditempuh dan bukan sekadat alternatif," terang Ahmad. Tak hanya itu, dilanjutkan Ahmad Fuel Quality harus dikembangkan seiring trend advance tech of vehicle yang mampu menekan konsumsi energi (LEV), Fuel Economy Standard (advance tech: LCEV), Appropriate infrastructure (infrastruktur yang baik dan memadai), Transparansi penetapan harga BBM dan Sustainable procurement (transparence, equality, fairness, legal/bukan black market). Lebih lanjut ia menerangkan harus ada reformulasi penggunaan acuan harga MOPS sesuai dengan fakta harga pasar di Bursa Minyak Regional (Singapuxa, dll) sehingga lebih ada kepastian dan transparansi terkait harga perolehan (seperti harga MOPS) yang dijadikan sebagai HPP (Harga Pokok Penjualan atau Cost of Goods Sold) BBM. "Acuan harga MOPS semata dalam pengelolaan dan pengembangan kilang dalam negeri temasuk kilang-kilang stand alone dan co-processing BNN," ujar Ahmad. Selanjutnya perlu hedging dan kontrak import BBM berdasar kontrak pembelian komoditas berjangka, monitoring terhadap trend Fuel Price di Bursa Minyak Regional dan transparansi dengan menggunakan acuan yang equal (setara) dalam menetapkan harga BBM. Ditambahkan Ahmad, hendaknya pamerintah menggunakan acuan yang equal dalam penetapan harga BBM. Selanjutnya konsekuensi penggunaan harga MOPS sebagai acuan penetapan harga, harus diikuti dengan distribusi BBM yang kualitasnya setara dengan BBM MOPS. "Perlu menghindari potensi manipulatif dalam kebijakan harga BBM. Menghindari indikasi bahwa terjadinya producen surplus dalam penetapan haxga BBM. Dan penetapan haxga BBM berdasarkan Cost of Goods Sold (Harga Pokok Penjualan)," jelas Ahmad. KPBB juga merekomendasikan bahwa biaya crude oil sesuai dengan mutu dan sumbernya (domestik atau import), biaya pengolahan dan biaya overhead serta profit margin yang wajar. Dan atau biaya pokok impor produk BBM (misalnya MOPS) ditambah biaya distribusi dan profit margin yang wajar. Sebagaimana fakta bahwa produksi Crudes Oil tidak lagi mencukupi. Selain kemampuan kilang yang tidak lagi mampu untuk memasok kebutuhan akan BBM Demand baik kuantitas maupun kualitas. Sementara import BBM telah membebani negara sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan yang menguras devisa negara. Amanat Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan supply guna menekan angka impor BBM dengan membangun kilang blum berhasil diwujudkan. Kilang baik kilang minyak fossil maupun minyak nabati baik sebagai kilang stand alone meupun co-processing dengan kilang konvensional, belum berhasil dibangun, sekalipun Pertamina merencanakan akan selesai pada 2019 sehingga mulai berproduksi untuk memasok kebutuhan BBM yang memenuhi syarat untuk kendataan berstandard Euro 4/IV pada 2020/2021. (dim/fin/ful)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: