Indonesia Tolak Klaim Kedaulatan Cina Dekat Natuna
JAKARTA - Indonesia menolak dengan tegas, klaim Cina yang mengaku memiliki kedaulatan atas perairan di dekat Kepulauan Nansha, Laut Cina Selatan, yang berbatasan langsung dengan Laut Natuna, Kepulauan Riau. Melalui pernyataan resminya, Rabu (1/1), Kementerian Luar Negeri RI menuturkan bahwa wilayah yang diklaim Cina itu masih merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Jakarta menganggap klaim historis Beijing soal perairan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh hukum internasional. "Klaim historis Cina atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan Cina telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982," terang Kemlu, Rabu (1/1) Kemlu menegaskan, Indonesia juga menolak istilah "perairan terkait atau relevant waters" yang digunakan Cina untuk merujuk pada wilayah di sekitar perairan yang mereka klaim di Laut Cina Selatan. Menurut Kemlu, istilah "perairan terkait" tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. "Indonesia Mendesak Cina untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaim RRT di ZEE Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982," kata Kemlu. Pernyataan itu ditegaskan Kemlu demi merespons penolakan Cina atas protes Indonesia yang menuduh kapal ikan Tiongkok memasuki perairan Natuna, Kepulauan Riau, secara ilegal baru-baru ini. Dalam penolakan itu, Beijing menegaskan bahwa negaranya memiliki hak kedaulatan atas Kepulauan Nansha di Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya yang berbatasan langsung dengan Natuna. Juru bicara Kemlu Cina, Geng Shuang menegaskan bahwa Cina memiliki hak historis di Laut Cina Selatan lantaran para nelayannya telah lama melaut dan mencari ikan di perairan itu dan dekat Kepulauan Nansha, yang menurut Jakarta masih merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Padahal, klaim Cina atas perairan yang menjadi jalur utama perdagangan internasional itu juga tumpang tindih dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Meski berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, Indonesia tidak memiliki sengketa wilayah dengan Cina di perairan tersebut. Namun, Indonesia merupakan salah satu negara yang mendukung kode etik Laut Cina Selatan segera diterapkan. Kode etik itu dibentuk sebagai pedoman negara-negara bertindak di perairan kaya sumber daya alam tersebut demi mencegah konflik. Dapat diketahui, baru-baru ini perairan Natuna kembali disusupi kapal asing asal Cina. Kapal-kapal tersebut langsung ditangkap pada Senin (30/12). Bahkan beredar video yang menunjukkan kehadiran kapal-kapal ikan Cina yang dikawal kapal coast guard negara tersebut malah mengusir kapal milik nelayan Indonesia. Gambar dalam video itu mengesankan, perairan Natuna seolah-olah masuk wilayah Cina. Oleh karena itu, Kemenlu RI telah memanggil Dubes Cina di Jakarta untuk menyampaikan protes keras terhadap kejadian tersebut. Nota diplomatik protes juga telah disampaikan. Kemenlu RI Menegaskan kembali, bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan Cina. Indonesia juga tidak akan pernah mengakui sembilan dash-line Cina. Sebab, penarikan garis tersebut bertentangan dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS pada 2016. "Kemenlu RI akan terus melakukan koordinasi erat dengan TNI, KKP dan Bakamla guna memastikan tegaknya hukum di ZEEI," tutup pernyataan Kemenlu. Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman, mengaku telah menemui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD melaporkan langsung kasus tersebut. Termasuk tindakan yang sudah dilakukan, yakni pengusiran terhadap kapal nelayan asing. Dia menjelaskan, Bakamla sudah mengendus pergerakan kapal-kapal fishing fleet (penangkap ikan) dari utara ke selatan sejak 10 Desember 2019 yang dimungkinkan masuk wilayah perairan Indonesia. "Maka, kami gerakkan kapal-kapal kita ke sana. Memang diperkirakan tanggal 17 Desember mereka masuk, ternyata mereka masuk tanggal 19 Desember. Nah, kita temukan, kita usir," jelasnya. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menegaskan, bahwa pihaknya akan lebih memperketat pengawasan di perairan yang terindikasi menjadi tempat masuknya kapal nelayan asing secara ilegal. "Kami mendapat masukan dari masyarakat, salah satunya dari daerah Natuna, Kepulauan Riau. Kita terus lakukan pengawasan dengan ketat tidak hanya secara online (daring) tetapi fisik, tim kita juga sudah ada di sana dan bersinergi dengan Angkatan Laut dan Bakamla (Badan Keamanan Laut)," tuturnya. (der/fin)
DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News
Sumber: