Jiwasraya Tak Tuntas, Asuransi di Indonesia Bakal Suram

Jiwasraya Tak Tuntas, Asuransi di Indonesia Bakal Suram

JAKARTA - Kasus gagal bayar klaim nasabah oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bakal berimbas pada krisis kepercayaan masyarakat terhadap asuransi di Indonesia. Oleh karena itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mendesak pemerintah menyelesaikan kasus Jiwasraya. Menurut Bhima, langkah pertama yang diambil adalah menerbitkan utang untuk mendapatkan dana segar membayar tunggakan klaim. Penerbitan utang bisa dilakukan melalui anak usahanya, Jiwasraya Putra.

Baca Juga: Siapa Tersangka Korupsi Jiwasraya?

Selanjutnya, tindakan proses hukum terhadap oknum direksi yang melakukan fradu sehingga diduga merugikan negara belasan triliunan rupiah. Kemudian tindakan lainnya, yakni penyertaan modal negara (PMN) dan pembentukan holding asuransi. Hanya saja, cara tersebut menurut Bhima banyak risikonya karena menggunakan dana APBN yang kemungkinan disalahgunakan. "Nanti bukan untuk bayar polis tapi malah jadi fraud. Kita belajar dari kasus century, bailout justru berisiko memunculkan fraud baru," ujar Bhima, di Jakarta, Jumat (3/1). Penerbitan utang, salah satu solusi yang minim dengan risiko. Tercatat hingga November 2019 ada 13.095 pemegang polis yang proses klaimnya tertunda dengan total nilai mencapai lebih dari Rp11,5 triliun.

Baca Juga: Kejaksaan Telusuri Aset- Aset Jiwasraya

"Jika penyelesaian berbelit belit dan proses nya lama bisa menimbulkan krisis kepercayaan yang sistemik ke seluruh sektor asuransi dan jasa keuangan di Indonesia. Orang akan kapok beli produk asuransi, ada semacam trauma," tutur Bhima. Dalam kasus ini, Bhima menekankan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar perketat pengawasan dan bersih-bersih pasar modal sehingga tidak terjadi lagi praktik goreng-goreng saham yang merugikan pemegang polis Jiwasraya. Di sini pentingnya bersih bersih bank dan jasa keuangan BUMN. Jika ketauan membeli saham gorengan, ada sanksi untk direksinya. Itu kewenangan OJK," ujar dia. Sementara pengamat dari Riset Center of Reforms on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah menilai akar permasalahan Jiwasraya disebabkan ketidaktepatan pemegang saham dan manajemen lama dalam melakukan penyelamatan Jiwasraya. Keputusan lambat menutup defisit solvabilitas senilai Rp3,29 triliun pada 2006 berujung pada defisit keuangan Jiwasraya yang terus merosot pada angka Rp5,7 triliun di akhir 2009. Kemudian, batalnya pemberian fasilitas PMN melalui penerbitan Zero Coupon Bond pada periode 2010-2011 semakin memperburuk tingkat solvabilitas perseroan per 30 November 2011 di angka Rp6,39 triliun. "Persoalan Jiwasraya menumpuk karena pembiaran yang terlalu lama. Ekuitas yang sudah negatif sejak tahun 2006. Artinya perhatian dan upaya yang sungguh-sungguh sudah harus dilakukan pada tahun 2006," ujar dia. Seperti diketahui, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tidak sanggup untuk membayar premi nasbaha yang mencapai Rp12,4 triliun yang jatuh tempo mulai Oktober-Desember 2019.  (din/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: