Upaya KPK Tutupi Kasus PAW DPR

Upaya KPK Tutupi Kasus PAW DPR

JAKARTA - Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupaya menutupi penanganan perkara kasus dugaan suap penetapan Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR. Kasus itu menjerat mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, eks Calon Legislatif PDI Perjuangan Harun Masiku, dan dua orang lainnya. Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman mengatakan, penilaian itu didasarkan atas sejumlah kejanggalan yang muncul selama proses penyidikan. Ia pun menduga, KPK ingin memutus dugaan keterlibatan pihak-pihak tertentu. "Atas berbagai kejanggalan tersebut PUKAT melihat KPK berusaha menutupi kasus ini. Atau ingin memutus keterlibatan pihak-pihak tertentu. Apa dan siapa yang ditutupi? KPK yang tahu," ujar Zaenur kepada wartawan, Senin (10/2). Zaenur mengungkapkan, belum tertangkapnya Harun Masiku meski telah ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap menujukkan buruknya kinerja KPK dalam perkara ini. Tak hanya itu, kata dia, terdapat kejanggalan lain yang juga menguatkan indikasi buruknya kinerja KPK. Antara lain, KPK sempat kehilangan jejak Harun Masiku ketika tim penyelidik meyakini dirinya berada di sekitar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Kebayoran Baru, Jakarta. Selain itu, KPK juga terkesan lambat dalam mengajukan izin penggeledahan kepada Dewan Pengawas. "Kejanggalan berlanjut dengan informasi keliru mengenai data keimigrasian yang disampaikan Kemenkumham dan KPK. Tidak berhenti di situ, kejanggalan berlanjut dengan pembuangan para petugas KPK yang menangani kasus HM (Harun Masiku) dengan mengembalikan kepada institusi asal," ungkap Zaenur. Kemenkumham pun, sambungnya, hingga saat ini belum kunjung mengumumkan hasil investigasi terhadap kesalahan informasi keimigrasian Harun Masiku. Menurut Zaenur, hal ini menjadi tanggung jawab Menkumham Yasonna H Laoly lantaran ia berperan sebagai pihak yang ikut menyerukan informasi keliru tersebut. "Justru Menkumham melempar tanggung jawab pada anak buah. Akhirnya masyarakat susah untuk percaya KPK akan menuntaskan kasus HM. Bisa jadi kasus ini akan berhenti pada pihak tertentu," ucapnya. Zaenur beranggapan, kinerja KPK dalam mengungkap kasus ini menjadi buruk lantaran melibatkan oknum partai politik (parpol) penguasa. "Susah untuk mengatakan KPK sekarang bekerja secara profesional. Yang bisa dilakukan masyarakat adalah terus mengawasi dan mengkritik KPK," tuturnya. Senada dengan Zaenur, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai, belum kunjung tertangkapnya Harun Masiku lantaran KPK tidak memiliki niatan untuk mengamankan mantan Caleg PDIP itu. Ia menyebut, KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri cs kini tak bernyali melawan koruptor. "Pimpinan KPK tidak berniat menangkap karena tidak meminta izin kepada Dewas. Sehingga terlihat bahwa KPK dibawah Firli kian tidak bernyali terhadap koruptor," kata dia. Selain Pimpinan KPK, Feri turut mengkritisi Dewan Pengawas yang hingga kini belum secara tegas mengawasi kinerja lembaga antirasuah selama ini. Ia menduga, pola kerja seperti ini sejak awal telah terencana dengan baik. "Dewas tidak memperlihatkan sikap mampu mengoreksi tindakan pimpinan dalam kasus ini. Bukan tidak mungkin pola seperti ini telah terencana dengan baik," tandasnya. Dikonfirmasi terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri memastikan pihaknya masih terus berupaya mencari keberadaan Harun Masiku. Pimpinan KPK, kata dia, juga terus memerintahkan jajaran lembaga antirasuah untuk mencari Harun. "Itu memang terakhir kan penyidik menyebarkan seluruh DPO ke seluruh Indonesia. Hari ini yang kami ketahui dari pimpinan juga memerintahkan untuk terus mencari keberadaan yang bersangkutan dan menangkapnya. Tadi sudah disampaikan kepada tim," tutur Ali Fikri. Dalam perkara ini, Wahyu diduga meminta fee sebesar Rp900 juta untuk meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR pengganti Nazarudin Kiemas yang telah meninggal dunia. Namun Wahyu baru akan menerima Rp600 Juta dari proses pelolosan tersebut. Uang Rp600 Juta dibagi dalam dua tahapan. Pada tahapan pertama, ada aliran suap Rp400 juta yang saat ini masih didalami sumbernya. Hanya saja, Wahyu hanya menerima senilai Rp200 Juta dari total Rp400 Juta. Sisanya atau senilai Rp200 Juta, diduga digunakan oleh pihak lain. Namun, saat ini KPK baru menahan Wahyu Setiawan, dan dua tersangka lain yakni pihak swasta Saeful serta mantan Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina. Sedangkan Harun Masiku, saat ini masih diburu oleh KPK. KPK sudah mendaftarkan Harun Masiku ke Polri sebagai buronan. (riz/gw/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: