Mahe: Dilarang Kritis, Itu Ciri Warisan Kolonial!

Mahe: Dilarang Kritis, Itu Ciri Warisan Kolonial!

JAKARTA - Pernyataan Juru Bicara Rektor Universitas Lampung (Unila) Nanang Trenggono tidak bisa dianggap remeh. Tapi penegasannya itu pun harus relevan terhadap fakta dan data. tidak sekadar ”buang peluru” tapi yang dibidik tidak ada. Pernyataan ini disampaikan Eksponen 98 Mahendra Utama, menanggapi statmen Nanang Trenggono yang meminta setiap akademisi Unila tidak kebablasan dalam memberikan pendapat. ”Ada sebab musabab. Nah, yang dimaksud Kang Mas Nanang itu siapa ya. Mungkin baiknya disebutkan. Dan komentar mana sih yang salah. Saya sendiri orang di luar kampus itu yakin, para akademisi paham dan tahu tempatnya dalam memberikan pandangan atau statment,” terang Hamendra Utama, saat berdiskusi dengan sejumlah awak media di sebuah cafe, kawasan Teuku Umar, Bandar Lampung, Senin (9/3/2020). Bahwa akademisi, dosen di Universitas Negeri merupakan bagian dari abadi negara atau ASN. Maka ketika menyampaikan pendapat secara konstruktif, tentu menjadi hal yang normal. Termasuk mengkritik kebijakan pemerintah sekalipun. ”Ada larangan mengkritik?" tanya balik Mahe. Secara formil melarang ASN mengkritik pemerintah tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Namun di luar itu, larangan tersebut adalah manifestasi sisa-sisa paradigma ala kolonial. ”Orang ngomong kok ga boleh. Apalagi ada dasarnya. Ada hal substantif yang disampaikan melihat sesuatu. Nolmal kok. Lalu ketika dosen Ilmu Sosiologi tidak boleh bicara soal politik atau tekhnik? Kalau dia menguasai kenapa tidak,” timpalnya. Jika dilarang, maka paradigma tersebut menempatkan pegawai negeri semata alat pemerintah yang berkuasa. ”Nah dengan perspektif lama itu terus dipelihara, maka dosen akan dinilai loyal jika tak banyak berkomentar atas segala kebijakan pemerintah begitu?. Itu ciri warisan kolonial itu,” timpalnya. Narasi yang disampaikan Nanang, di media online itu, sambung Mahe—sapaan akrab mantan aktivis PRD itu, seperti cermin yang terbelah dan retak. ”Kalau cermin yang terbelah tapi masih terpampang dalam satu frame, artinya memang sudah ga bisa dipakai. Nah yang tidak bisa dipakai karena retak itulah dibuang. Pertanyaannya, yang retak yang mana, akademisi mana yang salah. Ingatkan,” timpalnya. Di luar Unila, sambung dia, banyak akademisi bergelar profesor maupun doktor yang mampu tampil dan menyuarakan pendapatnya. Posisinya makin kuat karena diberikan kebebasan bahkan difasilitasi oleh Kampus tempat asalnya mengabdi. ”Janganlah membangun narasi yang seakan-akan membuat pemisahan. Ada yang baik, ada yang buruk ya wajar. Ada yang sesuai keilmuannya ada yang tidak tinggal publik yang menilai. Ini ranah internal kok disampaikan ke publik. Ada-ada saja Kang Mas Nanang,” timpalnya Mahe. (ful)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: