Penyederhanaan Partai Tak Harus Naikkan Ambang Batas

Penyederhanaan Partai Tak Harus Naikkan Ambang Batas

JAKARTA - Usulan penyederhanaan partai politik (parpol) dengan menaikkan ambang batas, terus menuai polemik. Terlebih, naiknya mencapai 7 persen. Hal ini dinilai hanya akan menguatkan dominasi oligarki politik di Indonesia. "Penyederhanaan partai juga bisa dilakukan tanpa harus meninggikan ambang batas. Misalnya memperkecil besaran daerah pemilihan," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini di Jakarta, Rabu (11/3). Sebelumnya, Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartanto dan Ketua Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh sepakat menaikkan ambang batas parlemen hingga 7 persen pada pemilu 2024 mendatang. Dia mengusulkan, bisa juga dengan menerapkan ambang batas pembentukan fraksi di parlemen. Cara ini bisa dilakukan tanpa harus menaikkan ambang batas parlemen dalam pemilu. Namun tetap membuat parlemen menjadi sederhana. "Sehingga pengambilan keputusan di parlemen juga menjadi lebih sederhana," imbuh Titi.

BACA JUGA: Tangani Corona, WHO Terima Hampir Rp4,2 Triliun

Menurutnya, menaikkan ambang batas parlemen justru memberikan dampak negatif yang lebih banyak. Ambang batas parlemen yang tinggi akan membuat semakin banyak suara sah terbuang. Apabila semakin besar angka dan semakin banyak partai yang tidak bisa mengonversi suara yang diperoleh menjadi kursi di parlemen, hal tersebut dapat berakibat timbulnya ketidakpuasan politik. "Ini dapat membuat apatisme politik warga. Bahkan bisa berdampak buruk mengakibatkan benturan dan konflik politik," jelasnya. Ambang batas yang tinggi dinilai bisa memicu pragmatisme politik. "Alih-alih mereka memperkuat ideologi dan kelembagaan partai, malah disikapi dengan mengambil jalan pintas. Yakni melakukan politik uang yang lebih masif dengan harapan bisa merebut suara melalui praktik jual beli suara," tuturnya. Hal senada disampaikan akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona. Menurutnya, menaikkan ambang batas parlemen akan menguatkan dominasi oligarki politik di Indonesia. Apabila usulan itu disahkan dalam UU Pemilu, jelas partai kecil tersingkir. "Dengan penyederhanaan jumlah partai, tidak berarti demokrasi akan semakin sehat. Sebab bukan lagi rahasia partai politik di Indonesia, telah berubah menjadi jejaring oligarki politik yang kuat, dan mapan secara ekonomi politik. Sehingga sulit dirombak," kata Bataona.

BACA JUGA: Polisi Temukan Fakta Baru dari Hasil Autopsi Anak Karen Pooroe

Partai di Indonesia, lanjutnya, hampir sebagian besar dikuasai jejaring oligarki politik. Sehingga mereka berpikir pragmatis. Caranya, mengurangi jumlah partai lewat ambang batas parlemen. "Saya kira ini berbahaya. Sebab tidak menjamin hanya dengan empat atau lima partai. Konsolidasi demokrasi akan sukses karena semua partai hampir pasti sudah dikuasai jejaring oligarki yang kuat dan mapan," imbuhnya. Jika partai kecil gagal ke parlemen dan harus bubar atau bergabung dengan partai besar, mereka hanya akan menjadi kekuatan minoritas. Sehingga, negara sebesar Indonesia dengan pluralitas etnis, suku, agama dan aliran politik tidak bisa disederhanakan representasinya melalui jumlah partai secara serta merta. "Butuh waktu untuk hal ini. Jika syarat tujuh persen itu harus dipenuhi setiap partai politik, saya kira banyak partai kecil yang mewakili suara kritis golongan masyarakat tertentu akan tersingkir. Sedangkan jejaring oligarki politik di Indonesia akan semakin kuat mendominasi panggung politik negeri ini," pungkas Bataona.(rh/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: