Rapid Test Kontraproduktif dengan Soscial Distancing

Rapid Test Kontraproduktif dengan Soscial Distancing

JAKARTA - Sedikitnya 1.371 kerumunan massa dibubarkan kepolisian pasca pemberlakuan pembatasan sosial. Upaya memutus mata rantai penyebaran virus corona baru covid-19 ini dilakukan kepolisian daerah (Polda) di seluruh Indonesia. Sayangnya upaya ini akan menjadi sia-sia dengan kebijakan baru rapid test. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Argo Yuwono mengatakan pihaknya menggandeng Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Pemerintah Daerah (Pemda) membubarkan ribuan kerumunan massa. Pembubaran tersebut dilakukan oleh seluruh Polda di Tanah Air. "Kita sudah membubarkan kerumunan massa 1.371. Itu semua terdapat di semua Polda di seluruh Indonesia. Semua ini kita dibantu TNI dan pemda," katanya di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (26/3). Argo meminta masyarakat mematuhi imbuan Polri. Hal tersebut, sangat membantu dalam mencegah perluasan wabah covid-19.

BACA JUGA: Berhenti Berkata: Kami tak Takut Corona, Kami Takut Hanya Allah

"Kami imbau kembali untuk masyarakat agar tidak berkumpul tetap disiplin, jangan sampai kita jadi korban. Kita harus jadi pahlawan pemutus dengan berada di rumah, tidak ke mana-mana, taati ini, semoga bangsa kita dengan disiplin ini bisa cepat selesai berkaitan dengan virus corona ini," katanya. Selain itu, Argo juga mengatakan Polri dan jajarannya telah melakukan penyemprotan di 3.000 tempat umum. "Terkait Operasi Aman Nusa II dalam rangka percepatan dan antisipasi wabah COVID-19, untuk Mabes Polri dan jajaran telah melakukan kegiatan penyemprotan disinfektan di tempat umum sebanyak 3.000 lokasi, dari Jakarta sampai seluruh Indonesia. Kita harus jadi pahlawan pemutus virus Corona dengan berada di rumah, tidak ke mana-mana, dan taati ini," lanjutnya. Pembubaran kerumunan sejalan dengan protokol pembatasan sosial (social distancing), yang belakangan berganti pembatasan kontak fisik (physical distancing). Namun, akan menjadi sia-sia dengan upaya uji cepat atau rapid test. Tidak kurang dari 150 ribu alat uji cepat tersebut disebarkan ke sejumlah fasilitas kesehatan. Menurut pengamat kebijakan sosial Satria Aji Imawan, kebijakan baru berupa rapid test tidak lebih efektif daripada pembatasan sosial. Bahkan, uji cepat Covid-19 ini kontraproduktif. Alih-alih mengimbau publik tidak berkerumun, uji cepat justru dinilai berpotensi mengumpulkan massa. "Terkait rapid test itu, menurut saya bukan solusi. Itu kan hanya melihat secara cepat siapa yang terkena, siapa yang enggak. Yang terkena pun kan dites lagi, kalau menurut Kemenkes, tes CPR yang mengambil spesimen di mulut dan hidung, sementara yang negatif belum tentu enggak terkena juga. Karena di beberapa negara, yang negatif terkena positif, yang positif sembuh bisa kena lagi," terang Aji dihubungi, Rabu (26/3). Aji mengapresiasi upaya penegasan Polri dalam pembatasan sosial. Seperti diketahui, Polisi mengancam bakal memproses pidana masyarakat yang membandel tetap berkerumun. Tak tanggung-tanggung ancaman pidana satu tahun diterapkan bagi pembandel tersebut.

BACA JUGA: Jumlah Corona di Jakarta Meningkat, DPIP Desak Lockdown Jakarta

"Kultur masyarakat kita itu kan ketika dihadapkan dengan sesuatu yang tidak nampak itu memang terkesan meremehkan, makannya kebijakan inklusif ini yang harus didekati. Saya sudah cukup apreciate dengan tindakan Polri untuk tidak kumpul," jelasnya lagi. Master Administrasi Publik jebolan Universitas Exeter Inggris ini menyarankan kebijakan pembatasan sosial dikuatkan lagi. Aji mencontohkan, misalnya Pemerintah lebih banyak menggandeng influencer. Masyarakat yang sadar juga, imbuhnya, dapat mengkampanyekan upaya ini agar timbul kesadaran kolektif terkit pentingnya pembatasan sosial. "Tinggal ini memang upaya tidak mengenal lelah, tapi memang saya pikir Polri juga perlu dibantu dengan voulenteerism dari masyarakat," katanya. Kebijakan itu juga dinilai Aji sejalan dengan tren kebijakan Pemerintah yang lebih mengedepankan pendekatan sipil daripada pendekatan militeristik. Pendekatan sipil, kata Aji, mengedepanan upaya persuasif dan humanis. Namun, pendekatan militeristik bukan tidak mungkin bakal diterapkan bila masyarakat tidak disiplin dalam menaati imbauan Pemerintah. "Kalau kita melihat trennya di zaman Pak Jokowi sekarang kan jarang mengerahkan power, ini mungkin berbeda kalau leadernya semi militer, mungkin saja kita sudah melakukan lock down. Tapi kalau kita lihat trennya Pak Jokowi tidak seperti itu caranya. Pak Jokowi yang latar belakannya sipil agak cukup sukses dengan cara persuasif, dengan pelibatan influencer milenai, itu juga kan cukup membantu," tambah Aji. Kebijakan pembatasan sosial terbukti berhasil di sejumlah negara terjangkit covid-19. Aji menyebut, sejumlah negara di Asia yang disiplin menerapkan pembatasan sosial berhasil keluar dari jerat covid-19. "Sebenarnya social distancing itu sudah tepat, seperti di Taiwan, Korea Selatan, dan di Cina itu berhasil. Yang tidak terlalu berhasil kan di negara-negara Eropa Selatan seperti Spanyol, Italia. Sebenarnya tinggal penegakan social distancing aja untuk tidak menambah pasien di rumah sakit, kalau rapid test kan hanya, ya bisa jadi pasiennya nambah dengan rapid test," ujarnya. (irf/gw/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: