Harus Sentuh Kelas Bawah, Terkait Kebijakan Stimulus yang Dibuat Pemerintah

Harus Sentuh Kelas Bawah, Terkait Kebijakan Stimulus yang Dibuat Pemerintah

JAKARTA – DPR RI meminta kebijakan stimulus anggaran tahap tiga yang diluncurkan pemerintah mengatasi dampak wabah akibat virus Corona (COVID-19) harus menjangkau pekerja lapis bawah. Baik formal maupun informal di sektor pariwisata. Akibat wabah ini, sektor pariwisata mendapat pukulan paling telak. Hampir seluruh negara di belahan bumi terkena dampaknya dan melakukan pembatasan perjalanan atau bahkan menutup wilayahnya. Tak terkecuali pariwisata Indonesia. Selain anjloknya jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung, wisatawan domestik pun tidak berani melakukan perjalanan wisata, karena pemberlakuan karantina wilayah. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menegaskan, ada 13 juta tenaga kerja di sektor ini. Menurut Fikri, data serapan tenaga kerja di sektor pariwisata tersebut merupakan proyeksi kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif di akhir tahun 2019. “Masuk akal saya kira. Ketika pariwisata ambruk, efeknya bukan hanya di bidang penerbangan dan hotel. Coba pikirkan berapa juta orang yang bergantung pada sektor ini, terutama di daerah tujuan wisata,” kata Fikri di Jakarta, Senin (30/3). Mereka, lanjut Fikri, adalah tenaga kerja formal dan informal yang terkait langsung maupun tidak langsung. “Mulai dari karyawan hotel sampai pemandu wisata, sopir travel , tukang ojek, becak, hingga penjual makanan dan oleh-oleh,” imbuhnya. Stimulus fiskal tahap 1 maupun 2 hanya menjangkau kepentingan elit pengusaha. Seperti hotel dan resto, penerbangan, dan agen perjalanan. “Bukannya tidak penting mensubsidi sektor ini, agar mereka bisa tetap bertahan dan tidak melakukan PHK. Namun tulang punggung penggerak pariwisata di daerah paling besar dari pekerja lapis bawah,” paparnya. Kemudian dampak sosial yang diakibatkan juga akan lebih luas. “Bila setiap pekerja menanggung 3 orang saja, misal istri dan dua anak, maka akan ada 39 juta orang ikut terdampak,” cetus Fikri. Paling tidak bantuan langsung tunai (BLT), yang mesti segera dicairkan kepada kelompok rumah tangga yang rentan dan sektor informal. “Termasuk mereka yang kena PHK di bidang usaha jasa wisata dan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition /Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran),” imbuhnya. Apalagi periode pandemi COVID -19 di Indonesia diperkirakan akan berlanjut hingga bulan Juni tahun ini. Dimana biasanya musim liburan atau terjadinya puncak kunjungan wisatawan di destinasi wisata. “Semua pihak sedang berjuang, melakukan upaya bersama-sama agar musibah ini segera berakhir. Namun tetap prioritas utama adalah nyawa,” tukas Fikri. Terpisah, Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto menyoroti harga minyak mentah dunia yang terus mengalami penurunan tajam, di tengah mewabahnya Covid-19. Terkait penurunan itu, pemerintah dinilai perlu menyesuaikan harga BBM dan tarif dasar listrik serta menjamin pasokan dan distribusi ketersediaannya. Dia mengatakan, pemerintah perlu menurunkan harga BBM khusus penugasan (Premium) dan BBM bersubsidi (Solar) dengan tetap memperhatikan tingkat harga keekonomian dalam rangka menjamin akses masyarakat bawah terhadap BBM tersebut. Selain itu, penurunan harga BBM nonsubsidi seperti jenis pertalite dan pertamax agar disesuaikan dengan daya beli masyarakat saat ini. “Pemerintah melalui Kementerian ESDM harus segera menurunkan harga BBM khusus penugasan (premium) dan BBM bersubsidi (solar) dengan tetap memperhatikan tingkat harga keekonomian. Menurunkan harga BBM nonsubsidi seperti pertalite dan pertamax disesuaikan dengan daya beli masyarakat," jelas Rofik. Rofik menuturkan, sebulan yang lalu (24/02) harga West Texas Intermediate (WTI) mencapai diatas USD 50. Saat ini sudah turun separuhnya, yaitu kurang dari USD 25. Namun, penurunan harga minyak internasional di tiga bulan pertama 2020 itu ternyata tidak diikuti oleh PT Pertamina. Harga BBM non subsidi yang mengikuti harga keekonomian duniapun tidak berubah. Sebelumnya, Vice President Corporate Communication PT Pertamina Fajriyah Usman mengungkapkan, pada prinsipnya Pertamina selaku operator, Pertamina akan menyesuaikan dengan peraturan Pemerintah. Sampai saat ini harga BBM mengacu pada ketentuan dari Kementrian ESDM, dan Pertamina selalu comply dengan hal tersebut. Dengan demikian, adanya tren penurunan harga minyak mentah dunia hingga 55 persen, jelas menekan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik. Penekanan BPP Listrik bisa sampai angka 20 persen. Terutama diambil dari elemen BBM. Karena energi primer pembangkit listrik yang termahal adalah BBM. Rofik mengusulkan agar Pemerintah memberikan kompensasi kepada kelompok masyarakat rentan. Seperti pekerja informal dan pekerja harian. Menurutnya, kelompok ini yang paling terdampak pandemi COVID-19. Skema kompensasi bisa berupa penurunan tarif listrik untuk golongan 900 VA dan 1300 VA. Penurunan struktur tarif tersebut, diharapkan dapat mengurangi beban ekonomi masyarakat. Struktur tarif tersebut dapat diturunkan minimal Rp 250 per kWh (18 persen), selama 4 bulan ke depan, mulai bulan April sampai Juli (tahun ajaran baru). Dengan turunnya harga BBM dan tarif listrik tersebut, setidaknya akan membantu ekonomi masyarakat, ditengah lambatnya ekonomi dunia akibat virus Corona. (khf/fin/rh)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: