RUU Sisdiknas Makin Alot

RUU Sisdiknas Makin Alot

JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) belum juga rampung. Sampai-sampai Komisi X DPR RI mengundang Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), Kamis (18/6). Polemik makin meluas setelah beredar dokumen terkait penyederhanaan Kurikulum 2013 dalam FGD (diskusi terbatas, Red) yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) belum lama ini. Ya, dengan alasan RUU Sisdiknas butuh masukan dari semua komunitas penyelenggara pendidikan. Isu krusialnya, frasa swasta dalam RUU itu harus dihapus, agar tak ada dikotomi sekolah negeri dan sekolah swasta. Dalam rapat itu, BMPS memberi masukan, agar anak-anak yang dididik di sekolah negeri maupun swasta sama-sama anak bangsa. Idealnya, tak ada perlakuan yang berbeda antara negeri dan swasta. Titik krusialnya, ada di RUU Sisdiknas yang masih mencantumkan frasa sekolah swasta. Ini jadi sumber dikotomi.

BACA JUGA: Bebas, Sofyan Minta Blokir Rekening Dibuka

”Ini adalah masukan yang sangat bagus dari BMPS. Diharapkan ke depan dunia pendidilan kita semakin berkualitas. Kebetulan di Komisi X banyak juga anggotanya yang memiliki sekolah swasta. Jadi, sangat memahami masalah ini,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf saat meminpin rapat virtual dari ruang rapat Komisi X DPR RI, Senayan, Jakarta. Hadir dalam rapat virtual tersebut Ketua Umum BMPS Saur Panjaitan dan Ketua BMPS DKI Jakarta Imam Parikesit. Saur mengatakan, ketika Pemerintah belum mampu mendirikan sekolah di daerah-daerah, maka swastalah yang membuka akses pendidikan bagi anak bangsa. BMPS menyebut Pasal 11 RUU Sisdiknas belum jelas siapa yang berwenang memberi akses pendidikan yang bermutu. BMPS mengutip Pasal 11 (1): Pemerintah dan pemerintah daerah wanib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Kemudian ayat (2): Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara ysng berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

BACA JUGA: ASN 50 Tahun Keatas Disarankan Kerja Dari Rumah

Dua pasal ini dipersoalkan BMPS, karena belum jelas betul siapa yang menjadi domainnya, Pemerintah, pemerintah daerah, atau yayasan. Sudah saatnya, peran swasta dalam menyelenggarakan pendidikan tidak dimarjjnalkan negara. Sebaliknya, harus mendapat perhatian yang sama dengan sekokah negeri. Nah, terkait penyederhanaan Kurikulum 2013 dalam FGD (diskusi terbatas, Red) yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dalam dokumen tersebut, diketahui terdapat rencana peleburan mata pelajaran Pendidikan Agama dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Menanggapi hal itu, Anggota Komisi X DPR RI Prof Zainuddin Maliki mengatakan bahwa sepertinya permasalahan ini masih belum sampai kepada publik. Hanya sebatas di lingkungan kementerian saja. ”Kalau ada ide seperti itu ya tentu itu tidak kontekstual dan itu ahistoris (berlawanan dengan sejarah). Artinya pemikiran seperti itu tidak memiliki akar budaya, akar kehidupan bangsa Indonesia yang religius,” tutur dia kepada wartawan, Kamis (18/6). Menurut Zainuddin, jika mata pelajaran Pendidikan Agama digabungkan dengan PKN, maka hal tersebut tidak mencerminkan budaya bangsa, di mana Indonesia diketahui sebagai bangsa yang religius.

BACA JUGA: Final Coppa Italia: Napoli Berpesta Usai Bungkam Juventus Lewat Adu Penalti

”Para Founding Fathers kita dulu merumuskan Pancasila dan kemudian menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama, itu berangkat dari peta dan akar budaya bangsa Indonesia yang religius,” ujar dia. Bahkan, ketika dirinya pergi ke Inggris dan mengunjungi SMA Trinity di London, dirinya mendapati bahwa pelajaran agama itu diajarkan di Inggris mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. ”Saya pulang itu membawa buku pelajaran agama untuk SMP. Bukunya itu, karena siswanya banyak, agamanya berbeda-beda, maka di dalam bukunya itu ada pelajaran agama yang macam-macam, tetapi di satu buku pelajaran agama. Di dalamnya ada pelajaran agama Kristen, Katolik, Konghucu, Islam, Hindu, Budha, dan agama lainnya dalam satu buku,” tutur dia. Konsep pembelajaran seperti itu sebenarnya juga sama seperti yang tercantum dalam UU Sisdiknas. Jadi, mata pelajaran agama, siswa diajarkan sesuai dengan agama siswa itu sendiri. ”Misalnya, ada di Madrasah, ada anak Katolik sekolah di Madrasah itu harus dijarkan agama Katolik di situ walaupun dia hanya sendiri. Begitu juga sebaliknya, kalau ada orang Islam sekolah di sekolah Katolik, maka di sekolah itu harus mengajarkan agama Islam untuk siswa tersebut. Di Inggris seperti itu, bukunya masih saya simpan sampai sekarang,” tambahnya. Kembali ke isu peleburan mata pelajaran Pendidikan Agama dan PKN, karena konsep dan gagasan ini belum digulirkan belum menjadi konsumsi publik secara luas, ia menyampaikan agar jangan muncul pemikiran seperti itu. Jangan ada pemikiran kurikulum yang disusun tidak berangkat dari akar budaya bangsa yang religius. ”Saya tidak menganggap Kemendikbud sudah punya pemikiran seperti itu. Saya anggap Kemendikbud tidak punya pemikiran seperti itu. Tetapi kalau ada pemikiran seperti itu, maka ini sama dengan mencabut pendidikan dari akar budaya bangsa yang religius,” tutup dia. (ful/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: