Generasi Z Kehilangan Pekerjaan

Generasi Z Kehilangan Pekerjaan

JAKARTA - Pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saat pandemi COVID-19 dinilai sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya berhasil. Hal ini karena kurangnya partisipasi masyarakat, penegakan hukum, sosialisasi dan tidak jelasnya kegiatan PSBB. Selain itu, Setidaknya itulah gambaran dari hasil survei yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). "Dari hasil survei persepsi masyarakat menunjukkan 78,7 persen responden menyatakan PSBB belum sepenuhnya berhasil. Ini karena kurangnya partisipasi masyarakat," ujar Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Deny Hidayati di Jakarta, Jumat (19/6). Dia menjelaskan kelompok umur yang terbanyak mengatakan belum berhasil adalah generasi baby boomers (kelahiran 1946-1960), generasi X (1961-1980) dan Z (1995-2010). Survei ini dilakukan secara online pada 3-12 Mei 2020. Total valid responden sebanyak 919 orang berusia 15 tahun ke atas. Terutama yang berada di wilayah DKI, Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Dari sisi pemerintah, enam dari 10 responden menyatakan kurangnya penegakan hukum. Kemudian, alasan lain adalah kurangnya sosialisasi dan kurang jelasnya kegiatan PSBB. "Partisipasi masyarakat kurang karena pengetahuan masyarakat tentang PSBB terbatas. PSBB lebih banyak dimaknai sebagai pembatasan mobilitas penduduk," jelasnya. Hanya 20 persen responden yang mengetahui adanya pembatasan kegiatan di sejumlah sektor. Seperti perdagangan, industri, transportasi. Survei juga menunjukkan cukup banyak responden yang keluar rumah. Generasi Y (1981-1994) paling banyak keluar rumah. Sementara generasi baby boomer paling sedikit keluar rumah. "Mereka keluar rumah karena kekhawatiran terhadap tiga hal. Pertama tidak mampu mencari nafkah. Karena sebagian penghasilan berkurang akibat dampak pandemi COVID-19. Kedua, tidak dapat mengurus anggota keluarga. Ketiga tidak mampu membayar berbagai tagihan," terangnya. Selain itu, masih banyak masyarakat yang tidak disiplin menjalankan physical dan social distancing karena kekurangpedulian. "Ada juga yang terpaksa karena kondisi sosial ekonomi. Juga lingkungan permukiman yang kurang kondusif. Seperti di permukiman kumuh, padat dan miskin," ucapnya. Terkait pendapatan, yang berdampak besar kehilangan pekerjaan adalah generasi Z. Yang paling sedikit terdampak terhadap mata pencaharian adalah generasi baby boomer yang memiliki pekerjaan tetap. Pelaksanaan PSBB, lanjutnya, berdampak cukup signifikan terhadap mata pencaharian responden. Ada yang kehilangan sebagian besar pendapatan. Ada juga yang kehilangan pekerjaan. "Yang paling terdampak adalah generasi Z atau paling muda. Mereka baru masuk pasar kerja. Tetapi, lebih cepat terpental keluar dari kerja," jelasnya. Yang paling terdampak adalah mereka yang memiliki pendapatan rendah kurang dari Rp1 juta atau Rp2 juta. Terbanyak berasal dari DKI Jakarta. Adapun upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak PSBB terhadap mata pencaharian adalah mengubah pola menu konsumsi. Ada pula yang mengambil tabungan dan tetap bekerja meskipun gaji sangat kecil. Sementara itu, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Rusli Cahyadi menyatakan, sesungguhnya masyarakat mendukung kebijakan PSBB. Namun pelonggaran seperti di sektor transportasi membuat masyarakat bingung. Karena itu, pentingnya memberikan penalti denda atau hukuman bagi para pelanggar. “Masyarakat berharap ada ketegasan. Bisa berupa sanksi bagi para pelanggar kebijakan karantina wilayah dengan melahirkan payung hukum yang jelas dan tegas,” lanjut Rusli. Terkait hal ini, kata Rusli, LIPI melakukan kajian sosial melalui survei online dengan melibatkan kurang lebih 2.000 responden. Apabila mobilitas penduduk dalam rangka mudik tidak dibatasi saat bulan Ramadhan dan Lebaran lalu, bisa terjadi ledakan kasus COVID-19 di berbagai daerah. Berdasarkan data statistik, setiap tahun jumlah orang yang melakukan mudik di masa Lebaran di Indonesia rata-rata 27 juta orang. Dari survei tersebut, 21 persen responden menyatakan akan membatalkan rencana mudik jika dikaitkan risiko penularan COVID-19. "Namun, potensi ini menjadi menjadi hilang ketika wacana tentang relaksasi mulai dilakukan," urainya. Larangan mudik tidak memiliki implikasi untuk mereka yang melakukan kegiatan mudik. Mereka hanya disuruh putar balik. Satu-satunya hukuman adalah memutar balik kendaraan. Dalam persiapan menuju normal baru, perlu ada peningkatan kepatuhan masyarakat. "Pergerakan penduduk, apalagi dalam jumlah besar sangat berpengaruh pada kecepatan penularan COVID-19," terangnya. Keterlibatan masyarakat secara sukarela atau dipaksa oleh negara secara ketat akan memiliki kontribusi yang sangat besar," pungkas Rusli.(rh/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: