Miskin Pede Nyalon Kada

JAKARTA - Sejumlah calon kepala daerah (cakada) tergolong 'miskin'. Namun, anehnya tetap percaya diri (PeDe) nyalon kada. Padahal untuk ikut kontestasi Pilkada diperlukan biaya miliaran rupiah.
BACA JUGA: Polisi Respon Cepat Tangkap Maaher, Kasus Denny Siregar Mandek, Netien: Buzzer Piaraan Rezim
Sedangkan calon kepala daerah dengan nilai pelaporan harta terkecil calon Wakil Bupati kabupaten Sijunjung Indra Gunalan yang melaporkan total nilai harta defisit sebesar Rp3.550.090.050. Defisit tersebut disebabkan adanya kepemilikan utang sebesar Rp7,9 miliar. "Kalau dia ke pilih kita klarifikasi kok bisa harta defisit maju (pilkada), ada juga calon bupati Nabire hartanya Rp15 juta, kampanye-nya bagaimana ya? Entah dia melaporkan benar atau tidak benar," ungkapnya. Dijelaskannya pula, para cakada wanita jauh lebih kaya dari pada laki-laki. "Berdasarkan hasil perbandingan nilai harta kekayaan cakada tahun 2020 menunjukkan bahwa cakada perempuan mencatatkan rata-rata harta kekayaan mencapai Rp12,73 miliar atau 22 persen lebih tinggi dibanding rata-rata harta kekayaan cakada laki-laki," katanya.BACA JUGA: Musni Umar Apresiasi GP Ansor Jika Dikirim ke Papua Lawan Separatis
Calon Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Suprianti Rambat, mencatatkan kepemilikan harta tertinggi yaitu Rp73,74 miliar. Sementara calon bupati Nabire, Papua Yufinia Mote tercatat memiliki nilai harta terendah yaitu Rp15 Juta. "Disparitas harta kekayaan cakada perempuan lebih sempit dibanding harta kekayaan cakada laki-laki yang mencatatkan nilai harta tertinggi yaitu Rp674,23 miliar dan nilai harta terendah sebesar minus Rp3,55 miliar," tambah Pahala. Meski demikian, total harta kekayaan cakada perempuan tak bisa dijadikan tolak ukur kemampuan pendanaan pilkada. Alasannya karena yang dilaporkan hanya harta tidak bergerak, alat transportasi, harta bergerak lainnya, surat berharga, harta kas dan setara kas, dan harta lainnya yang dikurangi dengan utang. "Harta kas mungkin lebih tepat menggambarkan tingkat kemampuan keuangan cakada dalam membiayai pilkada, termasuk cakada perempuan," jelasnya.BACA JUGA: Gus Menteri Tekankan Pembangunan Desa Harus Bertumpu ke Akar Budaya
Diungkapkannya, rata-rata harta kas cakada perempuan mencapai Rp1,37 miliar, sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata harta kas cakada laki-laki yang Rp1,36 miliar. Dalam kesempatan itu, Pahala juga mengungkapkan bahwa para pengusaha mendominasi sebagai cakada di pilkada 2020. "Terlihat bahwa latar belakang profesi calon kepala daerah pada setiap periode didominasi pengusaha atau swasta lainnya," katanya. Pilkada 2020 oleh 665 calon kepala daerah dari pengusaha atau swasta lainnya, 555 calon kepala daerah dari birokrat serta 256 calon dari anggota legislatif. Menurutnya, cakada dari pengusaha atau profesi swasta karena memiliki kemampuan finansialnya yang lebih baik dibandingkan dengan calon dengan latar belakang legislatif maupun birokrasi.BACA JUGA: Kepri Jadi Model Pengembangan Ekosistem Pariwisata di Kawasan Perbatasan
"Calon kepala daerah petahana sekarang menyebut dirinya sebagai birokrat padahal 5 tahun lalu saat masuk kepala daerah, dia aslinya pengusaha dan tetap melanjutkan usahanya karena tidak ada aturan yang menyatakan ketika menjadi kepala daerah harus mundur sebagai pengusaha, jadi pengusaha ini terus mendominasi," katanya. Sehingga pada 2020 juga terjadi kenaikan keikutsertaan calon kepala daerah dengan latar belakang birokrat. "Pengusaha sekarang juga lebih sederhana, kalau saya ke daerah bertemu dengan asosiasi usaha mereka menyampaikan 'Dari pada jadi donatur, saya maju saja jadi pengusaha Pak karena kalau kabupaten kan biayanya cuma Rp20-30 miliar itu saya juga punya uang segitu', itu kenapa tren pengusaha berlanjut karena akumulasi dari Pilkada 2015," ungkapnya. Pahala mengungkapkan KPK pernah menemukan kasus ketika pengusaha yang memenangkan pilkada maka usahanya diambil alih oleh keluarga atau orang-orang terdekat sang kepala daerah.BACA JUGA: Ancam Penggal Kepala Habib Rizieq, Anggota Polisi Ini Ditangkap dan Diperiksa Propam
"Jadi kalau 'bidding' pengadaan di kabupaten orang agak segan karena punya pak bupati misalnya. Selama regulasi benturan kepentingan tidak ada maka di lapangan pengusaha lain akan sungkan terhadap perusahaan milik si kepala daerah," tambahnya. Selain itu, Pahala juga mengungkapkan temuannya, bahwa harta kekayaan petahana naik Rp2-4 miliar selama 5 tahun. "Secara umum, cakada petahana rata-rata mencatatkan kenaikan nilai harta sebesar Rp2-4 miliar selama menjabat pada periode pertama," ungkapnya. Sebanyak 62 persen cakada petahana mencatat kenaikan harta kekayaan lebih dari Rp1 miliar, bahkan 29 di antaranya mencatatkan kenaikan harta kekayaan lebih dari Rp10 miliar saat menjabat. "Namun ada 39 cakada yang justru menurun harta kekayaan selama periode lima tahun," ungkapnya.BACA JUGA: Ini Daftar Artis Maupun Idol Group K-Pop Terpopuler 2020 Versi Spotify
Kenaikan harta cakada petahana sejalan dengan besarnya nilai APBD daerah-nya pada periode yang sama. "Kita pikir masuk akal karena ada upah pungut dari APBD," katanya. Meski demikian, jumlah petahana pada Pilkada 2020 meningkat signifikan. "Pada Pilkada 2020, dari total 555 cakada yang berprofesi sebagai birokrat, terdapat 332 cakada petahana," katanya. Terjadi peningkatan dibandingkan tiga penyelenggaraan pilkada sebelumnya yaitu pada 2015, 2017 da 2018.BACA JUGA: Bea Cukai Siap Bantu Wujudkan Pengembangan Pelabuhan Patimban
Jabatan pemilihan dengan persentase cakada petahana terbanyak adalah calon bupati yang diisi 206 orang petahana yang terdiri atas 127 orang Bupati dan 79 orang wakil bupati. "Yang kita sebut petahana itu termasuk bupati atau wakil bupati yang maju untuk menjadi gubernur kita anggap petahana, kemudian sekretaris daerah maju kita anggap petahana karena dia orang pemerintahan," tuturnya. Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri tingginya biaya politik yang harus disiapkan para cakada untuk maju pilkada. "Pertama adalah gap antara biaya pilkada dan kemampuan calon, ini hasil penelitian. Hasil penelitian kita, ada gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon. Bahkan, dari LHKPN, itu minus," katanya. Berdasarkan penelitian KPK, cakada harus menyiapkan uang kira-kira Rp 5-10 miliar. Bahkan, jika ingin dipastikan menang, harus menyiapkan Rp 65 miliar.BACA JUGA: UNSMIL Kutuk Serangan yang Menewaskan Seorang Pelajar di Libya
"Jadi wawancara indepth interview ada yang ngomong Rp 5-10 miliar, tapi ada juga yang ngomong, 'Kalau mau ideal, Pak, menang jadi pilkada itu bupati, wali kota, setidaknya punya uang ngantongin Rp 65 miliar'. Mati, dah, padahal dia punya uang hanya Rp 18 miliar, artinya minus," sebutnya. Firli mengatakan besarnya selisih antara harta yang dimiliki dan biaya politik itulah yang membuat para cakada terbebani. Karena itu, menurut Firli, tak jarang cakada ini akan menjanjikan sesuatu kepada pihak ketiga yang mau memberikan bantuan dana untuk ikut pilkada. "Alasan calon kepala daerah era ini sudah menggadaikan kuasanya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya pilkada. Kalau itu terjadi, sudah tentu akan terjadi korupsi, dan tentu juga akan berhadapan dengan masalah hukum," ujarnya. Ditambahkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, pihaknya hadir bukan untuk mengganggu kontestasi politik. Tetapi untuk pencegahan agar kepala daerah yang terpilih bukan produk gagal. Karena itu, dia meminta, cakada bukan berlomba-lomba menjadi penguasa, melainkan pelayan rakyat. Jadi, aspirasi tidak berakhir pada jual beli kekuasaan. Praktik jual beli kekuasaan hanya melahirkan penguasa lalai dalam melaksanakan tujuan bernegara. Maka, akan menciptakan kepala daerah yang gemar korupsi, dari sektor sumber daya alam (SDA), hingga sumber daya manusia (SDM). "Kalau sudah begini, kita bernegara hancur, berpilkada inginnya mendapatkan pimpinan-pimpinan yang bagus, tetapi yang terlahir adalah pembeli-pembeli kuasa rakyat. Yang ketika duduk memperdagangkan kuasanya," tutur Ghufron.(gw/fin)DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News
Sumber: