Ferdinand: Aturan Investasi Hulu Migas yang Ribet, Bikin Investor Asing Kabur

Ferdinand: Aturan Investasi Hulu Migas yang Ribet, Bikin Investor Asing Kabur

    JAKARTA - Maraknya perusahaan minyak dan gas (migas) asing hengkang dari Indonesia, ditanggapi serius oleh Ferdinand Hutahaean. Pengamat energi itu menilai, ada yang salah dalam aturan investasi hulu migas di Indonesia, sehingga raksasa energi dunia berhamburan keluar dari Indonesia. Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia itu menilai, hengkangnya Shell, Chevron, dan ConocoPhillips, kontraproduktif dengan target pemerintah untuk mencapai target lifting minyak 1 juta BOPD dan 12 MMScfd gas di 2030. Ferdinand pun menyebut ada dua persoalan serius yang harus diselesaikan. "Yang pertama itu adalah terkait dengan regulasi, pengenaan pajak segala macam dan mereka ini melihat bahwa ini akan jadi pekerjaan berat, terutama dari sisi finansial. Mereka akan mengeluarkan dana besar-besaran tetapi tidak mendapat keringanan-keringanan dalam bentuk insentif," ujar Ferdinand kepada Fin.co.id, saat dihubungi pada Kamis (23/12/2021). BACA JUGA: Ferdinand: Oposisi Jangan Kencang-Kencang Teriak Utang, Pertamina Gak Kuat Investasi Sendirian Komentari Darmawan Prasodjo Jadi Dirut PLN, Ferdinand Hutahaean: Semoga Mas Darmo Membawa Terobosan Sebut Beberapa Menteri Layak Di-reshuffle, Ferdinand: Sibuk Urus Politik dan Gak Bisa Kerja Menurut Ferdinand, sektor hulu migas Indonesia saat ini memang bukanlah hal yang mudah untuk dijalankan seperti terdahulu. Membutuhkan effort atau usaha yang luar biasa untuk mendapatkan cadangan minyak dan gas, karena eksplorasi saat ini sudah tidak lagi dilakukan di wilayah darat maupun laut dangkal. Kondisi ini memerlukan teknologi yang lebih mutakhir serta modal yang sangat besar. "Ini tentu resiko sangat tinggi akan ditanggung oleh perusahaan-perusahaan yang bermain di sektor ini, sehingga saya melihat ada kecenderungan bahwa mereka melihat analisis resiko. Resikonya terlalu besar daripada apa yang akan didapat. Dan operasional, ini yang membuat mereka mengurungkan niatnya dan lebih bagus mereka fokus kepada hal-hal lain yang dianggap akan lebih menguntungkan ke masa depan," kata Ferdinand. Kemudian alasan yang kedua, kata dia, perusahaan-perusahaan raksasa migas dunia saat ini sudah mulai memikirkan bagaimana mereka menjalankan bisnis Energi Baru Terbarukan (EBT). Isu EBT sendiri saat ini memang sedang hangat dibicarakan, karena ini menyangkut pengendalian terhadap perubahan iklim. Bahkan, ia menyebut sektor migas saat ini telah memasuki usia senja. "Karena perubahan energi ini kan suatu keniscayaan yang pasti akan terjadi. Program EBT ini kan sudah menjadi program dunia. Kita tahu penghapusan karbon segala macam penurunan panas bumi, ini kan menjadi program dunia yang tentu membuat sektor ini menjadi semakin tidak menarik apabila tidak diberikan insentif-insentif tertentu," pungkasnya. Sebagaimana diketahui, sejumlah perusahaan migas asing telah menyatakan mundur dari proyek hulu migas di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini. Mulai dari Shell yang menyatakan akan mundur dari blok gas raksasa RI, Blok Masela di Maluku, lalu Chevron Indonesia Company yang mundur dari proyek gas laut dalam Indonesia Deep Water Development (IDD) di Kalimantan Timur, dan terbaru ConocoPhillips yang menyatakan mundur dari Blok Corridor di Sumatera Selatan. (git/fin)

admin

Tentang Penulis

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI

google news icon

Sumber: