Demi Kepastian Usaha, Pemerintah Dinilai Perlu Terapkan Aturan Metode Penghitungan Kerugian Negara

Demi Kepastian Usaha, Pemerintah Dinilai Perlu Terapkan Aturan Metode Penghitungan Kerugian Negara

Ilustrasi palu sidang--

JAKARTA, FIN.CO.ID- Pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan adanya aturan yang mengatur tentang penghitungan kerugian negara, khususnya terkait tindak pidana korupsi, baik yang dilakukan perseorangan maupun korporasi.

Selain untuk menjamin adanya kepastian hukum, juga untuk terciptanya kepastian usaha di Tanah Air. 

"Kalau ini belum diatur bahaya, setiap orang nanti pakai metode berbeda sesuai dengan seleranya, tidak ada kepastian dan standarisasi," kata Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Haula Rosdiana kepada wartawan, Senin 26 Desember 2022.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 disebutkan, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi sulit dibuktikan secara akurat.

MK menyebutkan hal itu harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).  

BACA JUGA:Aktivis Mahasiswa Minta KPK Periksa Dirjen Binapenta Terkait Indikasi Kerugian Negara Rp 7,9 Miliar

"Di sisi lain, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur metode penghitungan kerugian perekonomian negara, " kata Guru Besar Perempuan pertama di Indonesia pada Bidang Perpajakan ini. 

Sbagai contoh soal tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus dugaan korupsi minyak goreng. Menurutnya, tuntutan yang dilayangkan tidak berdasar, terutama perhitungan kerugian negara.

Untuk diketahui, saksi ahli JPU melakukan penghitungan kerugian ekonomi negara menggunakan metode input-output (I-O). Dirinya yang juga dilibatkan sebagai saksi ahli pun menyatakan itu tidak tepat, karena metode I-O biasanya digunakan dalam perencanaan pembangunan. 

BACA JUGA:Diduga, Kerugian Negara Dalam Balapan Formula E Era Gubernur Anies Berkisar Rp 160 Miliar

"Itu berarti bukan sesuatu yang riil. Kita berbicara mengenai tuntutan hukum, berarti harus fakta hukum dong, kalau fakta hukum itu bukan prediksi atau asumsi," ujarnya.

Disampaikan pula bahwa pengusaha juga mengalami kerugian dalam masalah ini, seperti dipaksa menjual minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) di saat harga CPO melambung. Hal tersebut juga mestinya jadi pertimbangan berdasar asas keadilan.

"Ada yang tidak dijelaskan secara detil oleh ahli yang digunakan JPU, yaitu pengorbanan produsen berkaitan dengan HET itu, bagaimana dia tetap menjual meskipun sebetulnya itu sudah dibawah harga keekonomisan," jelas Haula.

Hal ganjil lainnya adalah tak dipertimbangkannya pemenuhan minyak goreng di pasaran (DMO) dan benefit ekspor yang menjadi pemasukan negara. Maka dari itu, menurutnya tuntutan JPU kurang tepat.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber: