2 Saksi Diperiksa Terkait Kredit Macet LPEI Rp4,7 T

2 Saksi Diperiksa Terkait Kredit Macet LPEI Rp4,7 T

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) terus melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Kejagung terus mengumpulkan bukti untuk menetapkan tersangkanya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak masih mengumpulkan bukti dugaan melawan hukum yang telah merugikan keuangan negara triliunan rupiah dengan memeriksa sejumlah saksi.

"Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung kali ini memeriksa 2 saksi," katanya dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/8).

Diungkapkan saksi pertama adalah YTP, Kepala Divisi Restrukturisasi Aset II LPEI. Sedangkan seorang lagi adalah S, Kepala Divisi Operasional LPEI.

"YTP akan diperiksa terkait penanganan debitur yang tak dapat mengembalikan fasilitas kredir di LPEI, sedangkan S diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit LPEI kepada PT Kemilau Kemas Timur," katanya.

Dijelaskannya, keterangan para saksi dibutuhkan untuk menemukan fakta apa yang didengar, dilihat dan dialami sendiri.

"Agar ditemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional Oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)," kata Leo.

Sebelumnya, Leonard mengatakan pihaknya tengah usut kredit macet LPEI kepada 9 perusahaan.

"Pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen resik dalam posisi colektibility 5 atau macet per tanggal 31 Desember 2019," ujarnya, Rabu (30/6).

Dikatakannya, LPEI diduga melakukan penyaluran kredit tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39 persen.

"Dimana berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)," jelasnya.

Diterangkan Leonard, berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun itu meningkat 807,74 persen dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada profitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN ini untuk mengkover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalah di antaranya disebabkan oleh ke - 9 debitur.

"Bahwa salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia dimana selaku Direktur Utama dari 3 (tiga) perusahaan tersebut adalah Sdr S," ujarnya.

"Pihak LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI," tambahnya.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: