Kompor 450

Kompor 450

Kompor listrik. (Disway) --

Penentuan tarif listrik memang sangat ruwet di Indonesia. Untung kita sudah biasa berpikir ruwet. Kalau kemarin ada ketua DPRD yang tidak hafal teks Pancasila kini saya yakin tidak semua dirut PLN hafal kelas-kelas tarif listrik. Contohnya saya dulu. 

Di negara maju, dirut PLN-nya tidak ada yang tidak hafal tingkatan tarif –karena di sana tidak ada pembatasan listrik. Tidak ada pertanyaan ''mau nyambung listrik yang berapa VA''. Sambung saja. Kalau mau hemat ya harus disiplin sendiri. Berapa yang Anda pakai itulah yang Anda bayar. 

Pelanggan yang 900 VA lebih banyak lagi: 35 juta orang. Dari jumlah itu ada juga yang menerima subsidi: 8 juta orang. 

Bisa dibayangkan hebohnya. Kalau yang 450 VA dihapus: 24,5 juta orang. Memang seperti tidak masuk akal. Di zaman ini sebuah rumah cukup dialiri listrik 450 VA. Padahal zaman sudah serba elektronik. Semua alat butuh listrik: pompa air, TV, rice cooker, kulkas, setrika... Tapi orang juga mulai bisa berhemat: saat menyetrika, misalnya, alat pemakan listrik lainnya dimatikan.

Saya tidak tahu sejarah: sejak kapan sistem 450 VA itu diterapkan. Rasanya sejak zaman Belanda. 

Zaman itu pembatasan dilakukan bukan karena miskin. Yang bisa mendapat listrik adalah orang kaya. Motifnya lebih pada kekurangan listrik.

Kini pembatasan menjadi lambang status sosial ekonomi. 450 VA adalah kapasitas terkecil dari sistem listrik dua phase. Satu phase 220 VA. Maka dua phase 450 VA. Misalkan Anda ingin pasang listrik 400 VA, itu tidak bisa. Tidak ada sekring ukuran itu yang dijual. Semua sudah distandarkan satu phase 220 VA.

Tentu orang PLN semua mimpi indah: kapan negara ini maju. Tidak perlu lagi ada begitu banyak kelas pelanggan. Tidak harus berkasta-kasta. Semua dibuat sama. Tinggal masing-masing berpikir sendiri: berapa kemampuan pemakaian listrik bulanannya. 

Di zaman komputer seperti ini mestinya bisa. Siapa yang pemakaiannya hanya 300 watt tarifnya rendah. Kian tinggi pemakaian kian mahal tarifnya. Tidak perlu dikastakan. 

Memang akan heboh. Awalnya. Dan sekarang menjelang Pemilu. Lebih baik ide itu diabaikan saja.

Jangankan mengubah semua itu. Menggalakkan kompor listrik saja hebohnya bukan main. Padahal modernisasi penyaluran energi ke semua dapur rumah di Indonesia seharusnya sudah tidak bisa ditunda. 

Pilihannya hanya dua: membangun pipa gas ke semua rumah atau mengganti kompor gas ke kompor listrik. Dari dua hal itu kita masih sangat jauh dikatakan maju.

Memilih di antara dua itu juga tidak sulit. Mengingat harga gas fluktuatif, pilihan hanya satu: menggalakkan kompor listrik. Lihatlah betapa kian besar subsidi negara untuk elpiji. Maka migrasi ke kompor listrik jadi pilihan satu-satunya. 

Dulu mengganti minyak tanah ke elpiji dimaksudkan untuk  mengurangi subsidi. Kini subsidi elpiji seperti kena kutukan arwah minyak tanah.

Pemerintah sebenarnya sudah bulat: tahun depan jumlah pemakai kompor listrik sudah harus 5 juta rumah. Tahun depannya lagi naik tiga kali lipat.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber:

Berita Terkait

Jenny Mie

1 tahun

Siti Jenar

1 tahun