Partai Amplop

Partai Amplop

Suharso Monoarfa (istimewa) --

Gufronlah, kata Suharso, yang membakar semangat pengurus PPP untuk jangan menuhankan uang. "Yang percaya kekuasaan uang berarti tidak percaya kekuasaan Allah," ujar Gufron seperti ditirukan Suharso.

Gufron pun menceritakan ayahnya begitu konsisten di PPP. Sampai beliau meninggal. Tanpa pernah tergoda rayuan uang dari mana pun.

Sebagai pembicara terakhir Suharso menyinggung soal kebiasaan amplop untuk kiai. "Saya tidak pernah mempersoalkannya. I know that. Itu namanya bisyarah. Saya tidak persoalkan itu," katanya.

Yang penting, katanya, jangan sampai berubah menjadi keharusan. Ia pun menceritakan pengalamannya ke satu pondok pesantren. Pondok pesantren tersebut sudah sangat maju. Tidak kekurangan apa pun. Ia merasa tidak perlu meninggalkan amplop di situ. Ternyata ia dibisiki seseorang di situ: kok tidak meninggalkan sesuatu.

"Apakah di forum tersebut Anda menyebut nama pondok dan kiainya?" tanya saya.

"Tentu tidak. Saya justru bangga dengan pondok besar itu karena kemandiriannya," ujarnya.

Ia pun membisiki saya. "tapi jangan ditulis ya," katanya.

Kenapa tidak minta maaf saja? Agar reda?

“Saya sudah minta pengurus  untuk memintakan maaf. Tapi malah salah. Malah dikira saya bersalah. Saya itu tidak merasa bersalah," tegasnya. "Risiko apa pun saya hadapi. Dicopot dari jabatan menteri pun saya tidak takut. Kebenaran harus ditegakkan," katanya.

Itulah Suharso Monoarfa. 

Meski orang Gorontalo, Suharso lahir di Mataram, Lombok. Waktu itu ayahnya, Adam Yunus Monoarfa, mendapat tugas dari Bung Karno. Adam bersama dua orang lainnya harus ke Nusa Kecil –kini disebut Bali, NTB, dan NTT. Mereka bertugas menerima penyerahan wilayah dari raja-raja kecil di Nusa Kecil untuk dimasukkan ke wilayah Republik Indonesia.

Pertama kali ayahnya mendarat si pelabuhan Atapupu. Lalu ke So'e. "Kakak saya lahir di So'e, Timor," ujar Suharso.

Di setiap daerah mereka bertemu raja kecil. Menerima kekuasaan dari mereka. Lalu Sang ayah ke Lombok. Untuk menerima penyerahan dari raja Karangasam, Mataram. "Saat itulah saya lahir," katanya.

Dari Nusa Kecil sang ayah dipindah ke Malang. Lalu ke Blitar. Masa kecil Suharso di Blitar. Masa remajanya di Malang. 

"Di Blitar rumah kami di sebelah rumah Bung Karno. Saya sering digendong Bu Wardoyo, kakak Bung Karno. Sering disuapi kacang hijau," ujar Suharso. "Saya juga sering diberi bola kaki yang wujudnya jeruk bali," tambahnya.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber:

Berita Terkait

Nilai Nol

1 hari

Zeni

5 hari

Hari Raya

1 minggu

Madinah Kafe

1 minggu