Ini Klarifikasi Nanang Trenggono: Sah-sah Saja Warga Negara Berpendapat

Selasa 10-03-2020,20:23 WIB
Reporter : admin
Editor : admin

JAKARTA – Juru Bicara Rektor Universitas Lampung (Unila) Nanang Trenggono akhirnya angkat bicara terkait, polemik yang memunculkan spekulasi adanya larangan akademisi atau dosen memberikan pendapat atau pandangannya terhadap kebijakan pemerintah baik di Provinsi Lampung maupun Pemerintah Pusat. ”Jadi begini mas. Saya sebenarnya sedang menulis opini. Tapi baru tiba dari kantor. Jadi capai. Saya itu menjelaskan dalam konteks Universitas Lampung sebagai perguruan tinggi sebagai dunia akademik. Perlu dibedakan antara kebebasan berbicara, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan,” paparnya Nanang kepada Fajar Indonesia Network (FIN) Selasa (10/3). Ditambahkantam ada tiga hal yang berbeda, yakni kebebasan berbicara, kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik. Setiap warga negara Indonesia dijamin oleh konstitusi memiliki hak kebebasan berbicara (freedom of spech). ”Saya sama sekali tidak mempersoalkan, bahkan tidak ingin menyoal hal ini. Sah-sah saja orang sebagai warga negara memiliki kebebasan berpendapat atau berbicara,” terangnya yang dipertegas dalam rilis yang dikirim lewat pesan WhatsApp. Namun, sambung Nanang, jangan dimaknai kebebasan berbicara itu dengan kebebasan akademik, apalagi kebebasan mimbar akademik. ”Saya meluruskan pemaknaan ini,” terangnya. Unila sejak berdiri terutama era pasca reformasi sudah merumuskan konsep kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik. Lalu, orisinalitas makna azas tersebut diakomodir dalam Statuta Unila Tahun 2015 yang berlaku hingga sekarang. Terangkum dalam pasal 31 Statuta Unila. Ditegaskan Rektor menjamin dan melindungi kebebasan akademik sivitas akademik Unila yakni melindungi kebebasan akademik mahasiswa dan dosen untuk mengembangkan moralitas akademik sesuai keilmuannya di kampus. ”Sedangkan, kebebasan mimbar akademik adalah sejatinya dimiliki oleh guru besar atau dosen yang memiliki otoritas dan kewibawaan ilmiah. Kalau diturunkan secara teknis, seluruh dosen itu hanya memiliki dan mengejar jabatan fungsional sebagai akademisi,” jelasnya. Alasan lain, ada beberapa poin yang mendasarinya. Pertama, dari yang paling elemen seorang dosen diberi jabatan fungsional Asisten Ahli dan Lektor (biasanya III/a s.d III/d. Kedua, meningkat dalam Jabatan Lektor III/d-IV/a. ”Nah Asisten Ahli & Lektor disebut Asisten Profesor (poin 300),” rincinya. Ketiga, Naik dari IV/b s.d IV/e adalah Lektor Kepala (poin 400, 550 dan 700). Dan selanjutnya keempat Guru besar/profesor (poin 850). ”Poin itu dikumpulkan dari pendidikan, penelitian dan kepada masyarakat. Nah, semakin ke atas menuju profesor poin penelitian dan publikasi internasional bereputasi (scopus) diutamakan,” jelasnya. Kepakaran akademik, sambung Nanang, dihitung dari publikasi ilmiah secara internasional. Jika seorang dosen dapat dua kali publikasi ilmiah (scopus). Maka ia otomatis mendapat id-scopus. ”Ketika ia mendapat id-scopus dia sudah dinilai pakar, diakui di tingkat nasional dan internasional. Bahkan, lembaga-lembaga di Indonesia dan internasional mengakui dan layak mendapat penghargaan kerjasama riset dan sebagainya,” jelasnya. Selain itu, ada science dan technology index. Lalu ada recoqnisi dosen yakni mampu membangun kerjasama baik nasional maupun internasional. Tukar menukar scholarship antarnegara. Bahkan sekarang mahasiswa diwajibkan berkarya ilmiah dan inovasi. Lalu Haki, Paten, sampai dengan penghargaan nobel. Itu semua bisa dicapai karena civitas akademika memiliki kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik. ”Itu dunia akademik, jika ada yang menjadi rektor, wakil rektor, dekan atau ketua jurusan, hanya tugas tambahan yang tugas utamanya adalah mengakselerasi menghasilkan universitas unggul dan bereputasi internasional dan otomatis nasional,” paparnya. Nilai-nilai dunia kampus zaman dulu sudah berubah dan nilai-nilai akademik seorang dosen hanya bisa dicapai melalui karya-karya ilmiah secara internasional. ”Jadi, boleh dan sah saja sivitas akademika menyampaikan kebebasan berpendapat, namun tidak boleh dimaknai dalam pengertian kebebasan akademik, apalagi kebebasan mimbar akademik,” terang Nanang. Apakah kebebasan berbicara dapat menjadi kebebasan akademik atau kebebasan mimbar akademik? ”Iya bisa saja, jika ia bagian dari sivitas akademika Unila, tentu sesuai dengan Statuta Universitas Lampung. Jadi konteks saya adalah umum, bukan menunjuk personal,” jelas Nanang menanggapi beberapa pertanyaan yang disodorkan. (ful)

Tags :
Kategori :

Terkait