Opini . 17/04/2025, 07:44 WIB

Memang Beda! Ijazah Jokowi tidak Boleh Difoto, Tapi Ijazah Mohammad Hatta Malah Dipajang di Universitas Belanda

Penulis : Afdal Namakule
Editor : Afdal Namakule

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes

Aneh dan Mencurigakan, setidaknya dua kata ini sangat layak untuk diucapkan dari masyarakat yang masih waras ketika melihat prosedur "pembatasan akses awak media" sebagaimana yang terjadi kemarin sore (Rabu, 16/04/25) di depan rumah bekas Presiden RI ke-7 JkW di kawasan Sumber, Solo. Lengkapnya dapat dilihat di Kanal YouTube Liputan-6 SCTV youtu.be/tEwz85PSjmI berisi cerita seorang wartawan bernama Ichsan Nur Rosyid (INR), yang katanya sore kemarin para wartawan yang biasanya selalu standby didepan rumah tersebut dipanggil masuk namun dengan syarat bahwa didepan gerbang mereka diwajibkan untuk mengumoukkan semua kamera, HP dan segala jenis alat perekam elektronik terlebih dahulu.

Prosedur kemarin sebenarnya sangat ironis dan menyedihkan di era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi komunikasi sekarang ini, karena awak media dan pers masa kini seharusnya aktual, faktual dan obyektif dalam memberitakan, disertai dengan bukti dokumentasi asli, baik berupa Audio, Foto maupun Audio-Visual (Video). Moso wartawan kembali disuruh hanya melihat, menghafal dan menceritakan apa yang sangat terbatas diketahui hanya melalui panca indranya. Apalagi jelas betul bahwa sesampainya didalam para awak media tersebut samasekali tidak diperbolehkan memotret dan hanya diperlihatkan sekilas saja.

Ini sangat mengingatkan kita pada masa kelam Pers Indonesia jaman rezim Orde Baru di Indonesia (1966-1998), dimana selama era itu media mengalami banyak pembatasan dan kontrol. Wartawan sering kali harus mengikuti prosedur ketat dan mendapatkan izin khusus untuk meliput acara tertentu. Tidak jarang setelah terbit atau disiarkanpun masih ada tindakan pembreidelan bilamana pemberitaannya tidak sesuai dengan selera penguasa.

Tidak hanya di Indonesia, sebelum bersatu di negara Jeman Timur (1950-an hingga 1989): Di bawah rezim Komunis, media sangat dikontrol oleh negara, dan wartawan harus mematuhi prosedur ketat untuk meliput acara publik, sering kali tanpa perangkat rekaman. Juga di Uni Soviet, di era Stalin dan seterusnya, media mengalami sensor berat, di mana wartawan tidak diizinkan untuk meliput acara tertentu tanpa persetujuan dari otoritas. Mirip Indonesia sekarang? Wallahualam.

Seharusnya organisasi jurnalis Indonesia (PWI, AJI, IJTI, SPJ, AMSi, FWPI, PWOIN, dsb) melakukan protes keras terhadap perlakuan yang kemarin terjadi, karena hal tersebut selain tidak manusiawi juga membuat kualitas berita yang dihasilkan sangat jauh dari prinsip Jurnalisme modern dan menjadi kental unsur subyektifnya karena hanya mengandalkan Persepsi dan Opini belaka, sangat berbahaya karena bisa memecah belah sesama anak bangsa.

Jadi tanpa bukti Visual apapun, pengakuan wartawan INR dalam YouTube tersebut yangmana dia tidak bisa memastikan Apakah "Ijazah" yang diperlihatkan JkW sama dengan yang selama ini beredar di MedSos atau tidak, dia hanya bisa menjawab "sangat mirip" (?). Namun kesaksian ini tidak punya arti apa-apa karena tanpa bukti dan hanya sekualias obrolan warung kopi saja. Bahkan ketika dia menanyakan kepada JkW soal Kacamata, malah dijawab saat itu "karena minusnya sedikit maka ketika pecah akhirnya sudah nggak dipakai lagi", sebuah jawaban konyol.

Ironisnya, beberapa jam sebelumnya perwakilan masyarakat yang diantaranya adalah "Tim Pemburu Ijazah Palsu JkW" dan TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) malah tidak diperbolehkan melihat bentuk "Ijazah" tersebut dan malah seperti ditantang untuk bertemu di Pengadilan kalau mau melihatnya, karena JkW sendiri yang mengatakan hanya mau memperlihatkan kalau diperintah oleh Pengadilan atau Keputusan Hukum. Sikap tidak terbuka dan terkesan menutup-nutupi fakta ini sebenarnya malah merugikannya sendiri karena semakin mempertajam kecurigaan masyarakat, meski sudah diperlihatkan kedepan awak media.

Hal 180° berbeda adalah ketika kita melihat apa yang dilakukan terhadap Ijazah Wakil Presiden pertama sekaligus salah satu Proklamator kita, Mohammad Hatta (12/08/1902 - 14/03/1980) yang sejarahnya setelah Beliau menamatkan pendidikan di Handelschool di Padang, kemudian melanjutkan pendidikannya ke Belanda, tepatnya di Universitas Nederlandse Handels-Hoogeschool (NHH) yang sekarang dikenal sebagai Erasmus Universiteit Rotterdam. Mengambil Handelswetenschappen (Ilmu Perdagangan) di Fakultas Ekonomi mulai tahun 1921 dan lulus tahun 1932 dengan Gelar Doctorandus in de Economische Wetenschappen.

Hal yang sangat membanggakan, kini seluruh masyarakat yang berkunjung ke kampus tersebut di Rotterdam bisa menyaksikan Replika Ijazah beliau yang terpampang di Gedung perpustakaan kampus Erasmus Universiteit ini sebagai bentuk penghormatan Internasional (Belanda) terhadap beliau.:Moh Hatta dianggap sebagai alumni bersejarah dan tokoh dunia yang pernah belajar di kampus tersebut, serta memiliki kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui jalur diplomasi dan ekonomi.

Kesimpulannya, tanpa perlu mencari-cari alasan berlindung dibalik UU Keterbukaan Informasi No 14 tahun 2008 atau UU Perlindungan Data Pribadi No 27 tahun 2022, kalau Ijazahnya Mohammad Hatta diatas ini jelas terbukti Asli dan membanggakan seluruh masyarakat Indonesia hingga dipasang di Kampus Belanda. Sedangkan kalau Ijazah tidak boleh difoto, hanya boleh dilihat dan itupun semua Kamera dan HP dikumpulkan dulu semuanya, ini namanya membagongkan. Jelas persoalan Ijazah Palsu malah akan makin meruncing akibat ketidaktransparan ini, maka tagar #AdiliJokowi dan #MakzulkanFufufafa harus jadi solusi.

Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes - Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen - Jakarta, Kamis 17 April 2025

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com