Gaya Arogansi Komunikasi Pejabat Publik: Tanda Kemunduran Demokrasi dan Hilangnya Kepercayaan Masyarakat

fin.co.id - 25/03/2025, 09:02 WIB

Gaya Arogansi Komunikasi Pejabat Publik: Tanda Kemunduran Demokrasi dan Hilangnya Kepercayaan Masyarakat

Muhammad Faisal Dzulfahmi: Koordinator Wilayah BEM PTNU DIY

Oleh: Dzulfahmi (Koordinator Wilayah BEM PTNU DIY)

Dalam sebuah negara demokrasi, komunikasi publik yang baik menjadi fondasi utama dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sayangnya, di Indonesia, kita semakin sering melihat bagaimana pejabat publik merespons kritik dengan cara yang arogan, merendahkan, dan bahkan menjauh dari nilai-nilai demokrasi.

Beberapa waktu terakhir, komunikasi yang buruk dari pejabat tinggi negara bukan hanya mencerminkan kurangnya kedewasaan dalam berdialog, tetapi juga menunjukkan sikap antikritik yang berbahaya bagi kesehatan demokrasi kita.

A. Pejabat yang Meremehkan Kritik Publik

Beberapa contoh nyata yang mencerminkan pola komunikasi pejabat yang arogan antara lain:

1. Hasan Nasbi dan respons terhadap Pers.

Sebagai Kepala Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Namun, ketika ditanya wartawan tentang insiden pengiriman kepala babi ke kantor Tempo, ia justru memberikan jawaban, "Dimasak saja." Pernyataan ini bukan hanya tidak pantas, tetapi juga menunjukkan ketidakseriusan dalam menangani ancaman terhadap kebebasan pers.

2. Luhut Binsar Pandjaitan dan Aksi "Indonesia Gelap"

Gerakan "Indonesia Gelap" muncul sebagai kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Namun, bukannya menanggapi dengan argumen yang substansial, Luhut justru berkata, "Mukamu yang gelap." Pernyataan ini menunjukkan minimnya empati terhadap keresahan masyarakat dan memperlihatkan betapa jauhnya jarak antara pejabat dengan rakyat yang mereka layani.

B. Dampak Buruk Arogansi Pejabat terhadap Demokrasi

Respons pejabat yang merendahkan kritik memiliki konsekuensi serius terhadap stabilitas politik dan sosial, menurut saya ada tiga dampak utama dari komunikasi publik yang buruk ini:

1. Merosotnya Kepercayaan Publik

Ketika pejabat meremehkan suara rakyat, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Akibatnya, kebijakan yang dibuat pun semakin sulit diterima oleh publik, karena mereka merasa aspirasi mereka tidak pernah diperhitungkan.

2. Meningkatnya Polarisasi dan Ketegangan Sosial

Komunikasi yang buruk dari pejabat dapat memperdalam jurang perbedaan pendapat di masyarakat. Mereka yang merasa suaranya tidak didengar akan semakin frustrasi, dan ini bisa memicu ketegangan sosial yang lebih besar.

3. Kemunduran Demokrasi dan Menguatnya Otoritarianisme.

Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang bagi kritik dan diskusi terbuka. Ketika pejabat terbiasa merespons kritik dengan sikap merendahkan, ini bisa menjadi tanda awal kemunduran demokrasi dan mengarah pada sistem pemerintahan yang semakin otoriter.

C. Perlunya Evaluasi Komunikasi Pejabat Publik untuk Demokrasi yang Lebih Sehat

Untuk mencegah semakin memburuknya situasi ini, menurut saya ada beberapa langkah yang harus segera diambil:

1. Pejabat Publik Harus Mengedepankan Etika Komunikasi

Kritik adalah bagian dari demokrasi. Pejabat seharusnya belajar merespons kritik dengan bijak dan profesional, bukan dengan emosi atau sikap meremehkan.

2. Pemerintah Harus Lebih Transparan dan Akuntabel

Jika kritik terus bermunculan, itu artinya ada masalah yang harus diperbaiki. Pemerintah harus terbuka dalam menjelaskan kebijakan dan mendengarkan suara rakyat.

3. Media dan Masyarakat Harus Terus Kritis

Media massa dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawasi komunikasi pejabat publik. Jangan biarkan sikap arogan ini menjadi budaya yang normal. Kritik yang membangun harus terus disuarakan.

D. Saatnya Pejabat Publik Berbenah

Indonesia adalah negara demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi dialog terbuka antara pemerintah dan rakyat. Ketika pejabat mulai kehilangan kepekaan dalam berkomunikasi, itu adalah tanda bahaya bagi masa depan demokrasi kita.

Sigit Nugroho
Penulis