fin.co id - Amnesty International Indonesia mengecam pernyataan Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra yang menyebut bahwa peristiwa pembunuhan dan penghilangan paksa pada tahun 1998 bukan pelanggaran HAM berat di masa lalu
Durektur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan tak sepantasnya pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan tersebut. Apalagi dari pejabat yang salah satu urusannya soal legislasi bidang HAM.
Usman menilai, pernyataan Yusril itu tidak mencerminkan pemahaman undang-undang yang benar, khususnya pengertian pelanggaran HAM yang berat pada penjelasan Pasal 104 Ayat (1) dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
“Pernyataan itu juga mengabaikan laporan-laporan resmi pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM atas sejumlah peristiwa pada masa lalu yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity" ujar Usman Hamid lewat keterangan tertulis, dikutip pada Rabu 23 Oktober 2024.
" Jadi pelanggaran HAM yang berat menurut hukum nasional bukan hanya genosida dan pembersihan etnis" sambungnya
Dia melanjutkan, menurut hukum internasional, setidaknya ada empat kejahatan paling serius yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, sebagaimana diatur oleh Pasal 51 Statuta Roma.
“Hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut juga sudah diserahkan ke Jaksa Agung. Ini sudah menjadi fakta awal hukum yang tidak bisa dibantah, kecuali oleh peradilan yang fair dan adil" katanya.
Baca Juga
Usman Hamid menilai, pernyataan Yusril itu bukan hanya tidak akurat secara historis dan hukum tapi juga menunjukkan sikap nir empati pada korban yang mengalami peristiwa maupun yang bertahun-tahun mendesak negara agar menegakkan hukum.
"Tragedi Mei 1998 menyisakan luka mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta akibat kekerasan massal, perkosaan, dan pembunuhan yang menargetkan kelompok etnis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa pada saat itu" tuturnya.
Kata dia, pernytaan Yusril terlebih lagi disampaikan pada saat dilantik sebagai Menteri di hari pertamanya
" Ini sinyal pemerintahan baru yang mengaburkan tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu" paparnya.
"Pemerintahan yang lama juga telah pernah menyangkal, meski akhirnya mau mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM yang berat, termasuk Tragedi Mei 98" lanjutnya.
Kata dia, kewenangan penentuan apakah sebuah peristiwa menurut sifat dan lingkupnya tergolong pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-Undang, bukan oleh presiden apalagi menteri.
Menurtnya, Komnas harus membantah pernyataan Yusril dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Tragedi Mei 98, hingga tuntas.
Sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, Indonesia dalam beberapa dekade tidak ada pelanggaran HAM berat. Saat ditanya soal tragedi 1998, Yusril mengatakan itu bulan pelanggaran HAM berat.