Nasional . 25/09/2024, 08:05 WIB
Oleh: Sigit Nugroho, Redaktur fin.co.id
Di tengah badai kritik dan sindiran tajam yang mengarah kepada Presiden Jokowi, kita melihat bagaimana seorang pemimpin harus bertahan menghadapi realitas politik yang keras. Nama-nama seperti Mulyono dan lainnya menjadi simbol suara ketidakpuasan publik, menyoroti berbagai isu yang dianggap belum teratasi, termasuk juga soal isu dinasti politik yang dialamatkan tajam ke keluarga Jokowi, meskipun sebenarnya, dinasti politik sudah ada sejak dahulu kala.
Salah satu respons Jokowi yang mencolok adalah peluncuran Instruksi Presiden (Inpres) terkait pengelolaan jalan daerah (IJD). Langkah ini seakan menjadi cerminan ketidakmampuan beberapa kepala daerah dalam menjalankan amanah mereka, hingga pusat terpaksa turun tangan. Dalam situasi ini, kita dihadapkan pada dua sisi koin: ketidakmampuan lokal dan respons pusat yang seharusnya bisa memicu evaluasi mendalam terhadap kinerja pemerintah daerah.
Anda tentu masih ingat ketika Jokowi dan para Menterinya, salah satunya Pak Basuki Hadimuljono, jenderal infradtruktur Indonesia berkeliling di jalan rusak, di Provinsi Lampung. Kala itu, bahkan mobil Mercedes Kepresidenan sempat "nyangkut" di jalan berlubang, hingga Jokowi ketika ditanya wartawan bagaimana perasaannya melewati jalanan penuh obstacle dan dijawab "saya nyaman, bisa tidur malah".
Dalam hubungan politik, terdapat relasi kuasa antara Presiden dengan Gubernur, ya meski keduanya sama-sama dipilih rakyat, namun jelas, posisi struktural Presiden jauh lebih tinggi. Dalam konteks jalan rusak di Lampung, saat itu ibaratnya seperti Jokowi menampar muka Arinal Djunaidi, Gubernur Lampung. Bagaimana tidak, jalan daerah yang seharusnya menjadi tangggung jawab Gubernur, justru perbaikannya diambil alih oleh Jokowi. Malu? Sudah seharusnya Arinal merasa malu, namun, ya begitulah cara Jokowi. Toh masyarakat tidak ambil pusing, yang penting jalanan segera diperbaiki.
Di tengah kritik saat ini soal polah tingkah putra-putra Jokowi, ia juga memperlihatkan pencapaian dalam proyek smelter tembaga Freeport, yang menandai investasi besar senilai Rp56 triliun. Keberhasilan ini, meskipun tereduksi oleh hujatan yang mengelilinginya, seharusnya menjadi catatan penting. Proyek ini tidak hanya menyumbang potensi ekonomi, tetapi juga menunjukkan komitmen pemerintah dalam pengembangan industri dalam negeri.
Tamparan Telak! Ketika Jokowi sedang dikatai Mulyono, isu dinasti politik, hingga persoalan jet pribadi Kaesang dan akun Fufufafa yang disebut-sebut milik Gibran, wakil Presiden Indonesia terpilih 2024-2029, justru Jokowi malah membalasnya dengan tamparan santun yang "Mak Jlebb!". Jokowi pamer pencapaian pembangunan Smelter puluhan triliun. Hal yang tak pernah terjadi di pemerintahan sebelumnya, ketika Jokowi dan pemerintah Indonesia, berhasil memaksa PT Freeport, mendivestasi kepemilikan sahamnya, hingga membangum smelter untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan alam Indonesia.
Namun, tantangan tetap ada. Kritik yang datang bukan hanya sekadar hujatan, tetapi juga cerminan harapan rakyat akan kepemimpinan yang lebih responsif dan bertanggung jawab. Jokowi perlu mendengarkan suara ini dan melakukan evaluasi terhadap program-program yang ada, yang mungkin dianggap kurang menyentuh level akar rumput. Hanya dengan cara itu, kita bisa memastikan bahwa investasi dan kebijakan yang diambil benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.
Dalam situasi ini, penting bagi kita untuk menyadari bahwa meski pemimpin memiliki pencapaian, tidak ada yang sempurna. Kritik adalah bagian integral dari demokrasi yang sehat. Mari kita dorong dialog konstruktif untuk perbaikan, bukan sekadar serangan. Dalam perjalanan politik, setiap pemimpin menghadapi ujian. Bagaimana Jokowi menghadapinya akan menentukan arah pemerintahan dan kepercayaan masyarakat ke depan. (*)
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com