FIN.CO.ID - Anggota Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Acep R Jayaprawira mengungkapkan, berbagai tantangan dalam mengelola dana haji dan menjaga kualitas penyelenggaraan ibadah haji. Biaya operasional ibadah haji dalam negeri dan luar negeri melonjak tajam sejak terjadi Covid-19.
“Hal yang harus dipahami adalah perlunya menjaga sustainabilitas keuangan haji, saat ini nilai manfaat hasil investasi yang dihasilkan alokasinya masih lebih besar digunakan untuk mensubsidi jemaah yang berangkat saat ini,” kata Acep dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) dengan tajuk ‘Mencari Solusi Biaya dan Masa Tunggu Haji’, Selasa 11 Juni 2024.
Dia menuturkan, keadilan biaya haji menjadi salah satu isu krusial yang harus dituntaskan untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi penyelenggaran haji. Asep menjelaskan, soal komposisi rasio ideal subsidi adalah 70-30. Artinya, idealnya jemaah berangkat menanggung 70% dari BPIH dan BPKH menanggung sisanya dari nilai manfaat.
Idealnya harus ada keseimbangan yang logis antara jumlah yang dibayar oleh jemaah dan yang disubsidi oleh BPKH, sehingga pemberian nilai manfaat kepada jemaah tunggu dapat lebih besar.
“Sebagai contoh, jika biaya penyelenggaraan haji adalah Rp100 juta. Maka jemaah akan membayar Rp70 juta bersumber dari setoran awal dan setoran lunas serta nilai manfaat dari Virtual account masing-masing, Sehingga BPKH menanggung sisanya Rp30 juta,” tuturnya.
Acep mengatakan, kualitas dan efisiensi penyelenggaraan haji yang lebih baik bisa tercapai dengan dukungan pendanaan yang memadai. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji, BPKH memiliki tugas utama mengelola keuangan haji.
Tugas ini mencakup pengumpulan, pengelolaan, pengembangan, dan pengawasan dana haji. Di sisi lain, saat ini BPKH memiliki beberapa tantangan dalam mengelola dana haji.
Baca Juga
Di antaranya masalah regulasi yang mengikat dan berdampak pada ruang gerak yang terbatas sehingga BPKH bertindak secara hati-hati dengan perhitungan yang matang.
“Menurut Pasal 53 UU Nomor 34 Tahun 2014, jika terjadi kerugian, pengurus BPKH harus menanggung secara bersama-sama atau istilahnya tanggung renteng, sehingga pilihan investasi yang dilakukan harus mengutamakan keamanan dana jemaah,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Acep menekankan perlunya Revisi UU 34/2014 untuk memberikan fleksibilitas lebih besar kepada BPKH dalam mengelola investasi dan membentuk pencadangan kerugian.
(Ayu Novita)