JAKARTA, FIN.CO.ID - Penyelidikan dan penyidikan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak menghadapi beberapa kendala. Salah satunya ialah keengganan korban untuk melapor kepada aparat kepolisian.
Keengganan korban melapor ke polisi tersebut menyebabkan terjadi perbedaan, yakni jumlah kasus tinggi, tetapi laporan yang masuk ke polisi sedikit.
"Ini membuat kami menjadi kesulitan, karena pada dasarnya begitu kami menerima laporan seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak jumlahnya sangat tinggi, tapi laporan yang masuk ke kepolisian tidak terlalu banyak," kata perwakilan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) Mabes Polri Kombes Arya Perdana di Jakarta, Kamis, 24 Februari 2022.
(BACA JUGA: Dituding Lakukan Kekerasan Seksual, R. Kelly Jawab dengan Lagu Baru)
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), sejak 2019 hingga 2021 terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dimana 45 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual pada anak dan 11,3 persen terjadi pada perempuan.
Terkait kasus kekerasan pada anak, Arya menyebutkan terjadi peningkatan, yakni di 2019 tercatat 11.057 kasus, di tahun 2020 sebanyak 11.279 kasus, dan hingga November 2021 mencapai 12.566 kasus.
Sementara itu, kasus kekerasan kepada perempuan tercatat sebanyak 8.800 kasus di 2019, lalu turun menjadi 8.600 kasus di 2020, dan naik lagi menjadi 8.800 kasus di akhir 2021.
(BACA JUGA: Tenang, Pemerintah Jamin Libatkan Masyarakat dalam Pembahasan RUU Kekerasan Seksual)
"Kasus-kasus yang ditangani oleh PPA Polri sebagian besar memang banyak mengalami kekurangan dalam penanganan. Sehingga, kekerasan fisik yang sering dialami perempuan dan anak terkadang dilaporkan bukan kepada kepolisian, tetapi kepada orang-orang terdekat, atau pemuka agama dan tokoh masyarakat," ungkapnya.
Menurut Arya, alasan korban enggan melapor ke polisi karena malu dengan peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya. Hal itu menjadi kendala penyidik untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada korban.
"Ini juga yang mengakibatkan korban sangat malu melaporkan kepada kami, karena nanti tahu akan ditanya-tanya," tukasnya.
(BACA JUGA: Tembakan Mortir Rusia ke Ukraina Tewaskan 8 Warga )
Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Indonesia Lidwina Inge Nurtjahyo menjelaskan kerugian yang diderita korban kekerasan seksual antara lain trauma, luka fisik, hilang mata pencaharian, tidak berfungsinya anggota tubuh atau mekanisme biologis tertentu, terganggunya kesehatan, kematian secara sosial, rusak masa depan, kehilangan nyawa, hingga penderita juga dialami oleh keluarga.
Inge mengingatkan pentingnya peran Puslabfor Polri untuk mengungkap kasus kejahatan kekerasan seksual.
"Kasus kekerasan seksual kebanyakan sulit mencari saksi, sehingga peran Puslabfor Polri sangat besar dalam menelusuri jejak kejahatan," katanya.
Dapatkan berita terkini langsung di ponselmu. Ikuti saluran FIN.CO.ID di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029Vajztq