JAKARTA - Erupsi Gunung Semeru, hingga kini masih terjadi. Untuk memprediksi jarak luncur awan panas saat meletus pada Sabtu (4/12) lalu, dapat dilakukan dengan penghitungan volume kubah lava.
"Seharusnya memang kubah lava bisa dihitung volumenya. Apalagi sudah ada teknologi image. Sehingga bisa diperkirakan jarak luncurannya. Kita bertanya-tanya kenapa ini bisa miss prediction," ujar pakar Vulkanologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyudi, Senin (6/12).
Selain data volume kubah lava, informasi mengenai jumlah material di puncak Gunung Semeru juga belum tersedia. Sebelumnya, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM Andiani menyatakan berdasarkan pengamatan visual dan alat-alat seismometer, awan panas guguran pada Sabtu (4/12) memiliki jarak luncur mencapai 11 km dari puncak Semeru.
Sementara rekomendasi batas aman kepada masyarakat di lereng Gunung Semeru masih ditetapkan dalam Status Level II (Waspada). Yakni pada radius satu kilometer dari kawah/puncak Gunung Semeru serta jarak lima kilometer dari arah bukaan kawah di sektor selatan-tenggara.
Selain itu, , informasi mengenai data kegempaan di Gunung Semeru yang meningkat selama 90 hari terakhir. Ini bisa digunakan untuk mengidentifikasi gejala awal letusan.
Aktivitas vulkanik gunung api tidak sama dengan gempa bumi yang gejalanya tidak bisa diketahui. Disebutkan , luncuran awan panas guguran di Gunung Semeru cenderung dipicu faktor eksternal. Yakni tingginya curah hujan.
Curah hujan yang tinggi di sekitar Semeru mengakibatkan ketidakstabilan kubah lava. Sehingga menyebabkan longsoran awan panas. Data tersebut mengindikasikan bahwa material sudah naik ke permukaan Semeru.
Meski begitu, data PVMBG menyebut tidak ada gempa vulkanik dalam (VTA) dan gempa vulkanik dangkal (VTB) sebelum terjadi letusan. Sebab, setiap gunung memiliki karakteristik yang tidak sama.(rh/fin)
Dapatkan berita terkini langsung di ponselmu. Ikuti saluran FIN.CO.ID di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029Vajztq