JAKARTA - Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih mengatakan perlu adanya pemberian sanksi kepada para penyelenggara pelayanan publik yang tidak patuh terhadap rekomendasi Ombudsman.
“Masih kita temui para penyelenggara pelayanan publik yang mendapatkan rekomendasi itu tidak melaksanakan rekomendasi-rekomendasi Ombudsman,” kata Mokh Najih dalam diskusi publik bertajuk “Refleksi 13 Tahun UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Ombudsman RI, Kamis (21/10).
Padahal, kata dia, rekomendasi merupakan produk yang dihasilkan oleh Ombudsman. Dalam undang-undang, rekomendasi dari Ombudsman merupakan salah satu perintah hukum.
“Konsep mengenai rekomendasi Ombudsman ini masih ada kecenderungan disalahartikan oleh para penyelenggara pelayanan publik,” ujar dia.
Kecenderungan tersebut yang kemudian mengakibatkan munculnya pandangan bahwa perlu ada pemberian sanksi yang tegas apabila terdapat ketidakpatuhan terhadap rekomendasi Ombudsman.
Akan tetapi, di sisi lain, Mokh Najih mengatakan bahwa Ombudsman adalah lembaga negara yang cenderung morally binding, atau yang mengikat secara moral, daripada sanction binding (mengikat melalui pemberian sanksi) atau legally binding (mengikat secara hukum).
“Posisi Ombudsman yang ditempatkan sebagai lembaga morally binding itu tentu tidak serta-merta dibarengi dengan kewenangan untuk memberikan sanksi,” kata Mokh Najih.
Ketiadaan sanksi merupakan salah satu dilema yang kemudian terjadi ketika ada fenomena yang melibatkan ketidakpatuhan para penyelenggara pelayanan publik dalam melaksanakan rekomendasi Ombudsman.
Selanjutnya, terkait dengan kewenangan tambahan yang diperoleh Ombudsman melalui Pasal 50 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Mokh Najih mengatakan bahwa Ombudsman sudah membuat aturan mengenai pelaksanaan ajudikasi khusus.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Dalam hal penyelesaian ganti rugi, Ombudsman dapat melakukan mediasi, konsiliasi, dan ajudikasi khusus.”
“Di dalamnya, tentu harus didukung oleh keputusan presiden mengenai bagaimana pelaksanaan ganti rugi jika telah ada kewenangan ajudikasi khusus ini,” ujar dia pula. (riz/fin)