JAKARTA - Sebagian pihak menduga Amandemen UUD 1945 digunakan untuk memuluskan jabatan presiden 3 periode. Cara ini dinilai merusak konstitusi dan menciderai demokrasi. Pemerintah menyebut kewenangan amandemen berada di parlemen.
/p>
Tak ada gunaya mereka sebagai penyambung lidah rakyat. Mereka setidaknya mewakili aspirasi rakyat. Bukan berbeda haluan. Publik harus sepakat atau one voice," kata Direktur Political and Public Policy Studies, Jerry Massie kepada FIN di Jakarta, Minggu (29/8).
/p>
Menurutnya, model Ini seperti agenda liberal progresif yang ditunjukkan Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi, Ketua Senat Chuck Schumer dan Joe Biden. Bahkan Bernie Sanders dan Alexandra Ocazio Cortes (AOC).
/p>
Pertemuan mendadak PDIP-Gerindra hingga pertemuan pimpinan parpol koalisi dan afiliasi politik PAN ke gerbong koalisi menjadi catatan ke arah mengubah konstitusi alias mengubah amandemen. "Sampai pertemuan Jokowi dan Prabowo di Kaltim. Ini rentetan peristiwa politik yang ada indikasi ke amandemen UUD 45," imbuhnya.
/p>
Jerry menyebut hal itu merusak demokrasi. Dalam survei ditemukan 73,7 persen responden menolak perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. Yang mendukung atau setuju hanya 22,6 persen. "Jadi mayoritas publik amandemen jabatan presiden 3 periode ini," jelasnya.
/p>
Apakah para legislator akan menghancurkan bangsa ini? "Mereka harus minta maaf sama Soekarno dan Soeharto yang menjaga nilai konstitusi atau tak mengobrak-abrik UUD 45. Mereka berjalan sesuai amandemen dan konstitusi. Saya nilai Jokowi juga tak punya komitmen. Masih bisa terpengaruh dengan etika situasional," bebernya.
/p>
Jerry mengaku sudah membaca rencana ini sejak tahun lalu. Terutama saat UU Ciptakerja atau Omnibus Law dilegalkan. "Mulai dari situlah, ada arah menuju amandemen UUD 1945," tutupnya. (rh/fin)
/p>