Pengembangan Energi Alternatif di Indonesia Hanya Fatamorgana

fin.co.id - 26/05/2021, 19:15 WIB

Pengembangan Energi Alternatif di Indonesia Hanya Fatamorgana

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

 

JAKARTA - Pengembangan energi alternatif atau Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia, disebut hanya fatamorgana saja. Sebab, target yang dipasang setinggi langit, tidak dikejar semaksimal mungkin agar tercapai. Bahkan, program-program yang dibuat untuk menuju ke arah sana, disebut masih gagal fokus dan tidak benar-benar memiliki misi ke arah pengembangan EBT.

Hal.itu disampaikan oleh Praktisi Migas, Inas N Zubir, saat dihubungi Fajar Indonesia Network (FIN), Rabu (26/5).

Inas yang juga politisi Partai Hanura itu memandang, keseriusan pemerintah untuk mencapai bauran EBT 23 persen di 2025 masih hanya sebatas angan-angan belaka.

"EBT nampaknya hanya fatamorgana saja, dimana hanya sekedar angan-angan belaka tapi pelaksaan-nya bak mobil mogok yang harus didorong-dorong. Padahal Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi sudah berdiri sejak Agustus 2010 didalam Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berdasarkan Peraturan Presiden No. 24 tahun 2010," ujar Inas.

Inas yang juga pernah duduk di Komisi VI DPR-RI itu mengatakan, sejak Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) berdiri, belum ada suatu terobosan yang berarti terkait pemanfaatan EBT. Ia mencontohkan seperti halnya kebijakan BBM biofuel B-30 yang stagnan, serta pengembangan energi alternatif lainnya seperti georhermal yang juga masih mandek.

"Selama 11 tahun ditjen EBTKE ini melulu hanya sibuk jadi tukang pasang rooftop di perkantoran dan rumah ibadah belaka. Mari kita lihat APBN 2021 dimana 63,3 persen dari Rp729,1 miliar anggaran EBTKE, hanya untuk membiayai roooftop tersebut diatas saja," tuturnya.

"Padahal seharusnya Ditjen EBTK fokus untuk melakukan penelitian pengembangan energi baru terbarukan yang kemudian dijadikan dasar untuk menerbitkan kebijakan EBT oleh Menteri ESDM sehingga dapat menjadi salah satu energi alternatif yang signifikan," sambungnya lagi.

Ia mencontohkan misalnya tentang BBM Nabati, dimana selama ini hanya memanfaatkan CPO yang diproses menjadi FAME dan kemudian di blending dengan gasoil atau solar menjadi B-30. Akan tetapi jumlah FAME yang diblending tersebut tidak terlalu signifikan, yakni hanya maksimal 30 persen volume saja. Belum lagi juga persoalan emulsi B-30 di suhu yang rendah menjadi problem bagi mesin diesel.

"Padahal Pertamina sudah mampu memposes CPO bukan hanya sekedar menjadi FAME lalu diblending dengar solar, tapi CPO ini diproses menjadi RBDPO dan kemudian di cracking di unit RCC Kilang yang menghasilkan D-100, green gasoline dan green LPG,"

"Akan tetapi kendala yang dihadapi oleh Pertamina adalah masalah harga CPO yang jauh diatas harga minyak dunia. Misalnya sekarang, jika harga CPO dikonversikan ke barel, harganya adalah USD101.1 sedangkan harga minyak dunia hanya USD68.5 per barel saja," tuturnya.

Oleh karena itu, tambah Inas, tugas Ditjen EBTKE bukan hanya sekedar mengurus rooftop, namun juga seharunya mampu memberikan data dan analisis bagi Pemerintah untuk menerbitkan kebijakan tata niaga CPO agar harganya dapat setara dengan minyak dunia. (git/fin)

Admin
Penulis