News . 04/05/2021, 14:42 WIB
JAKARTA - Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia perlu mendapatkan dukungan berupa insentif dari pemerintah. Dukungan insentif itu diperlukan oleh pengembang EBT karena ternyata untuk memproduksi listrik dari energi alternatif, memerlukan biaya yang cukup tinggi. Disisi lain, listrik yang dihasilkan hanya dihargai dibawah nilai keekonomian oleh PLN.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, disebutkan bahwa dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTP paling tinggi sebesar BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.
Bila BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan di wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali atau sistem ketenagalistrikan setempat lainnya sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTP ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.
Saat ini potensi panas bumi banyak terdapat di wilayah Jawa, sementara BPP di Jawa hanya sekitar 7 sen dolar per kilo Watt hour (kWh). Bila BPP tersebut diterapkan pada harga panas bumi, maka ini tidak mencapai keekonomian dari para pengembang.
"Memang ini bukan permasalahan baru karena sejak dulu sampai sekarang belum pernah ada solusinya dari pemerintah. Energi baru, mau itu panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, selalu harga produksinya lebih mahal dari harga listrik yang dijual oleh PLN kepada masyarakat. Rata-rata biaya produksinya itu 9 atau 10, bahkan 12 sen dolar per kWh, sehingga ini membuat produksi sektor energi baru terbarukan kita lambat dan boleh dikatakan terhambat," ujar Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Selasa (4/5).
Menurut Ferdinand, tidak ada cara lain jika pemerintah ingin meningkatkan bauran EBT, selain memberikan insentif bagi pengembang dalam melakukan eksplorasi. Insentif itu berfungsi untuk menurunkan biaya produksi, sehingga ketika listrik yang dihasilkan dibeli oleh PLN dengan harga murah, maka pengembang tidak mengalami kerugian.
"Pemerintah harus memberikan insentif, untuk eksplorasi panas bumi supaya harganya memenuhi keekonomian dan investor tertarik untuk membangun dan melakukan eksplorasi di panas bumi dan sektor EBT lainnya," tegasnya.
Indonesia diketahui memiliki sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, tapi sayangnya pemanfaatannya belum juga optimal.Indonesia memiliki sumber daya panas bumi sebesar 23.965,5 mega watt (MW), terbesar kedua setelah Amerika Serikat yang memiliki 30.000 MW. Namun demikian, pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit listrik nasional hingga 2020 baru mencapai 2.130,7 MW atau 8,9 persen dari total sumber daya yang ada.
Sebelumnya Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Haris, mengakui kurangnya minat para pengembang untuk menjalankan proyek panas bumi, karena berdasarkan peraturan yang ada saat ini, tarif listrik panas bumi yang dibeli PLN dikaitkan dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik di lokasi setempat.
"Kalau harga panas bumi di 7 sen dolar (per kWh), dengan mekanisme yang ada saat ini, maka tarif 7 sen dolar tersebut sulit dicapai," kata Haris. (git/fin)
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com