Jakarta - Cadangan Beras Pemerintah (CBP) adalah hal yang sangat penting untuk menjaga ketahanan pangan di masa pandemi. Pemerintah harus melakukan importasi jika CBP dalam kondisi minim, sementara proyeksi kebutuhan beras justru mengalami peningkatan.
Hal itu disampaikan oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Syailendra kepada Fajar Indonesia Network (FIN), saat berbincang melalui sambungan telpon, Rabu (10/3).
Menurut Syailendra, terjadinya polemik soal perlu atau tidaknya impor beras 1 juta ton saat ini, hanyalah akibat sudut pandang yang berbeda.
"Impor beras itu kan untuk iron stok, artinya tidak mungkin dikeluarkan kalau posisi beras produksi dalam negeri itu masih bagus. Tapi kan kita harus punya persiapan mengantisipasi hal yang terburuk," ujar Syailendra.
Syailendra mengatakan, keputusan impor itu berkaca pada beberapa hal yang sudah terjadi. Ia mengungkap seperti halnya bahan pangan cabai yang disebut sudah masuk musim panen di awal Maret, namun ternyata akibat bencana iklim, panen menjadi mundur.
Contoh lain, kata dia, yaitu komoditas kedelai. Menurutnya, lonjakan harga kedelai di pasar internasional itu terjadi lantaran secara tiba-tiba China melakukan impor besar-besaran terhadap kedelai dengan alasan kebutuhan pangan meningkat dan juga pakan ternak babi. Hal inilah yang kemudian harus diantisipasi pemerintah, agar ketahanan pangan tetap terjaga.
"Tentu kita harus punya cadangan yang betul-betul dikuasai pemerintah. Kalau ada apa-apa, ya iron stok harus keluar. Kami justru mengutamakan Bulog untuk menyerap hasil panen-panen rakyat itu. Kalau harga (petani) di bawah, kan pemerintah punya HPP (Harga Pokok Produksi) yang harus dibeli supaya tidak merugikan petani," jelasnya.
Hal lain yang juga diantisipasi pemerintah, kata Syailendra yaitu negata-negara lain di kawasan Asia Tenggara yang diindikasikan sudah mulai 'mengerem' ekspor pangan mereka. Negara seperti Vietnam, kata dia, sudah berencana menghentikan ekspor beras karena mereka menyadari situasi pandemi belum jelas kapan berakhir.
"Informasi yang kita dapat, Vietnam itu sudah mulai hampir melarang ekspor beras, karena dia sudah buat kebutuhan cadangan dia. China juga beli, yang lain-lain juga beli, itu sudah khawatir juga kalau panjang pandemi kan. Kita pun waktu rapat kemarin sudah ketar-ketir, kalau pun ini (Izin Impor) dikeluarkan, nanti mau beli dimana," ungkapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, saat dihubungi FIN pada Minggu (7/3) lalu bereaksi keras menolak rencana impor beras 1 juta ton yang akan dilakukan pemerintah.
Andreas beralasan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kondisi Indonesia hingga April mendatang mengalami surplus beras. Selain itu, berdasarkan laporan jaringan tani AB2TI di seluruh daerah, kondisi saat ini sedang masuk panen raya, sehingga dipastikan kebutuhan beras tersedia. Alasan lainnya ia menolak impor yaitu kondisi harga Gabah Kering Panen (GKP) petani yang saat ini sangat rendah dan rentan semakin anjlok jika stok beras berlebihan.
"Jika ingin mengimpor sebaiknya tunggu Juli atau Agustus ketika sudah ada kepastian berapa potensi produksi 2021. jika memang kurang silakan impor, kalau tidak kurang tidak perlu impor karena produksi tahun ini diperkirakan memang bagus," tegasnya. (git/fin).