Alasan PKS Tegas Menolak Pilkada di 2024: Akan Timbul Banyak Korban Jiwa

fin.co.id - 09/02/2021, 09:13 WIB

Alasan PKS Tegas Menolak Pilkada di 2024: Akan Timbul Banyak Korban Jiwa

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Polemik penyelenggaraan Pilkada masih belum menemui titik terang. Namun, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan tegas ingin Pilkada dilakukan serentak pada 2022 dan 2023, bukan digabungkan dengan Pilpres di 2024.

Politikus PKS, Mardani Ali Sera menilai, dari sisi penyelenggaraan, pelaksanaan Pilkada serentak di 2022/2023 akan lebih ringan dan fokus karena beban penyelenggaraan tidak bersamaan dengan Pemilu Serentak 2024. Kualitas penyelenggaraan maupun iklim demokrasi pun tetap terjaga. Sebab, berkaca pada Pilpres 2024, tercatat sebanyak 894 petugas Pemilu meninggal dan sebanyak 5.175 dirawat di rumah sakit karena kelelahan.

"Pemaksaan untuk tetap menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada Serentak pada tahun 2024, berpotensi menimbulkan korban jiwa yang lebih besar dibandingkan Pemilu Serentak 2019," ujar Mardani Ali Sera lewat keterangan tertulis, Selasa (9/2).

Anggota Komisi II DPR RI ini menilai, penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023 justru akan memperkuat praktek demokrasi dengan memberikan kesempatan munculnya kepemimpinan lokal yang lebih terdistribusi secara merata. Ini akan berdampak positif bagi regenerasi kepemimpinan daerah dan nasional berjalan secara sehat

"Kita perlu memberi tiap locus pemilu haknya. Setuju dengan usulan mas Djayadi Hanan (SMRC), bagus 2024 dibuat Pemilu Nasional (Pilpres, DPD dan DPR Pusat), 2027 Pemilu Provinsi (Pilkada Gub dan DPRD Prov) dan 2028 Pilkada Kokab," katanya.

Sehingga kata Mardani, masing-masing memiliki isu dan diskursusnya sendiri. Plus sehat bagi demokrasi karena dalam lima tahun ada tiga kesempatan interaksi parpol dengan publik.

Lalu dari sisi pemilih, masih kata Mardani, informasi yang didapat calon pemilih terkait kapasitas dan kapabilitas Calon Kepala Daerah akan lebih memadai. Mengingat penyelenggaraan sosialisasi & kampanye Pilkada Serentak tidak bersamaan dengan Pemilu Serentak (Capres, DPR, DPD dan DPRD)

"Jika tetap memaksakan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak di tahun 2024, berpeluang membuat preferensi calon pemilih lebih banyak menjadi transaksional dan emosional. Politik uang bisa kian masif, kontestasi tidak lagi berdasarkan gagasan program," paparnya.

"Fungsi representasi jg menurun karena pejabat yang terpilih jd merasa tidak punya “kontrak sosial” dengan pemilih," imbuhnya.

Kemudian, dari sisi anggaran, Mardani tidak meyakini akan tercapainya efisiensi anggaran yang menjadi salah satu tujuan penyelenggaraan Pemilu.

"Tidak tercapai. Sebagai contoh Alokasi APBN untuk Pemilu Serentak 2019 sebesar 25,12 triliun, sedangkan Pemilu 2014 yang belum serentak berbiaya 24,8 triliun," katanya.

"Perlu diingat, menambahkan beban APBN untuk pelaksanaan Pemilu Serentak dan Pilkada Serentak Tahun 2024, berpotensi mengganggu pembangunan nasional dan daerah pada tahun tersebut, terlebih Indonesia masih dlm tahap Pemulihan Ekonomi Nasional," demikian Mardani Ali Sera. (dal/fin). 

Admin
Penulis