Indonesia Jadi Negara Maju 25 Tahun Lagi

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani meyebut Indonesia akan menjadi negara maju seperti Jepang, Korea Selatan atau Singapura sekitar 25 tahun lagi atau 2045 mendatang.

"Saat ini, Indonesia termasuk dalam negara berpendapatan menengah. Meskipun begitu, jika dilihat dari pertumbuhan pendapatan per kapita, kita makin menunjukkan peningkatan menuju negara berpendapatan menengah atas (middle upper income country)," cuit Sri Mulyani di akun Instagram resminya, Sabtu (28/11).

BACA JUGA:  Umumkan Positif Covid-19, Said Aqil: Corona Bukan Aib yang Harus Ditutupi

Menurut bendahara negara ini, Indonesia menjadi negara maju bisa masuk peringkat lima besar dunia dengan pendapatan per kapita mencapai 23.199 Dolar AS.

Peralihan menjadi negara maju, kata dia, harus diikuti dengan peralihan dari transformasi sektor-sektor usaha baik manufaktur maupun jasa dengan produktivitas yang tinggi.

Selain itu, lanjut dia, Indonesia juga harus mengejar ketertinggalan pembangunan berbagai infrastruktur, penyederhanaan sistem regulasi, birokrasi, serta peningkatan kualitas SDM.

BACA JUGA:  Janji Tanding Lagi, Mike Tyson: Insya Allah Saya Bakal Tampil Lebih Baik

"Terus pacu semangat dan optimisme agar Indonesia maju tidak hanya ada dalam bayangan kita saja, tetapi dapat segera diwujudkan untuk masa depan para generasi penerus bangsa," ujarnya lagi.

Sementara ekonom senior INDEF Aviliani memprediksi Indonesia akan menyandang status negara maju setidaknya 10 tahun lagi mengacu pada indikator ekonomi dan sosial sesuai hukum Countervailing Duty (CVD).

"Kemungkinan Indonesia bisa jadi negara maju 10 tahun lagi. Tapi, dengan catatan dicapai dengan berbagai upaya,'' ujar Avliani.

BACA JUGA:  Luhut Minta Ekspor Benih Lobster Bisa Dilanjutkan Jika Baik untuk Masyarakat

Dia menuturkan parameter sebagai negara berkembang dari sisi ekonomi di mana angka Gross National Income (GNI) per kapita di bawah 12.375 Dolar AS, di mana realisasi 2018 hanya sebesar 3.840 Dolar AS tidak menjadi pertimbangan penting.

Meski demikian, Aviliani menganggap AS tidak mengacu pada parameter pembangunan sosial, seperti tingkat kemiskinan, angka kematian bayi, tingkat melek huruf orang dewasa, dan tingkat harapan hidup di Indonesia saat ini. (din/fin)