News . 17/10/2020, 10:33 WIB
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menegaskan, berdasarkan UU Omnibus Law pasal 52 ayat 1 menyatakan bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama, dimiliki oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha dalam negeri.
“Undang-undang Omnibus Law ini mengubah lanskap industri pertahanan Indonesia. Sebelumnya dalam UU nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan pasal 11 disebutkan bahwa Industri alat utama hanya pemerintah yang menugaskan kepada BUMN pertahanan sebagai pemandu utama untuk memproduksi industri alat utama,” terangnya.
Namun, lanjut Sukamta, kini pihak swasta bisa masuk ke industri alat utama. Permasalahan kemudian muncul ketika sebuah industri strategis bisa dikuasai oleh pihak swasta.
“Modal perusahaan swasta bisa saja berasal dari asing walaupun status perusahaan tersebut merupakan badan usaha dalam negeri”, ujarnya. Menurut Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini, kepemilikan modal menjadi krusial karena menyangkut arah, kebijakan usaha, kerahasiaan data terkait produksi alat utama pertahanan dari perusahaan swasta.
Namun, imbuhnya, dengan masuknya badan usaha dalam negeri non pemerintah maka bisa jadi tidak harus 100 persen modal berasal dari dalam negeri.
“Jangan sampai niat untuk memperkuat industri pertahanan dalam negeri menjadi liberalisasi industri yang ujung-ujungnya pihak asing yang menikmati,” katanya.
Ia menyatakan kondisi dari perusahaan plat merah di bidang militer masih memprihatinkan.
“Minim modal, minim dukungan riset dan development, minim dukungan penjualan jadi faktor-faktor penyebab industri pertahanan Indonesia lesu darah,” beber Sukamta.
Pada 2019 misalnya, perolehan kontrak baru Rp7,31 triliun yang menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp3.39 triliun dan laba bersih hanya Rp101,07 milliar. Padahal di 2019 anggaran alutsista TNI mencapai Rp11,33 triliun namun dari anggaran tersebut lebih dari 40 persen dipergunakan untuk membeli alutsista impor.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Polhukam ini membeberkan ada BUMN bidang militer yang lebih parah kondisinya karena telah melenceng dari tujuan awal didirikan.
Ia melanjutkan, ada BUMN plat merah dengan core bisnis sesuai niat awal didirikan ialah bahan peledak, malah bisnis sektor militer hanya Rp92,6 milliar artinya kurang dari 5 persen dari total pendapatan tahun 2018 yang mencapai Rp1,9 triliun.
Sukamta kemudian mengingatkan bahwa, dalam konteks bisnis pembukaan peluang swasta dalam bisnis alat utama pertahanan menarik namun perlu di ingat bahwa membuka bidang usaha tertutup dan strategis ini ibarat mata pisau. Bisa jadi pertahanan Indonesia semakin kuat atau sebaliknya tumpul.
“Bab perizinan industri pertahanan kini tidak lagi dibawah Kemenhan. Kemenhan hanya jadi pengawas. Maka, soal izin ini harus ketat, tegas dan terukur. Agar bisa sesuai tujuan yaitu memperkuat pertahanan Indonesia. Jangan sampai liberalisasi industri pertahanan ini membuat ada kekuatan militer tidak resmi diluar institusi militer Indonesia. Kita harus belajar dari pengalaman negara-negara lain yang membebaskan industri pertahanannya. Akibatnya ada kekuatan yang sulit dikendalikan diluar institusi militer negara.” papar Anggota Komisi I DPR RI ini.
Sebelumnya. Juru bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak menjawab soal industri pertahanan di UU Cipta Kerja. Menurutnya, RUU Cipta Kerja klaster pertahanan merevisi beberapa pasal dari UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan menjadikan sektor ini dinamis dan progresif untuk investasi.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com