News . 29/09/2020, 11:00 WIB
JAKARTA - Kebijakan Jaminan Kelangsungan Pekerja (JKP) dalam RUU Cipta Kerja yang saat ini dibahas di DPR RI menjadi polemik. Legislatif menyebut, aturan soal JKP ini memang menguntungkan pengusaha. Tetapi akan membebankan keuangan negara.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) Mulyanto mengatakan JKP adalah jaminan asuransi untuk kelangsungan pekerja yang khusus diajukan Pemerintah dalam RUU Cipta Kerja. Dimana preminya dibayar dari APBN serta mengoptimalkan dana BPJS ketenagakerjaan.
"Dalam skema ini, JKP mensubstitusi pesangon sebesar 9 kali gaji, yang dalam UU Ketenagakerjaan seluruhnya (sebanyak 32 kali gaji) dibayarkan oleh pihak pemberi kerja," kata Mulyanto di Jakarta, Senin (28/9).
Dia menilai program ini tidak memberi manfaat tambahan bagi pekerja. Dengan program JKP ini pekerja yang di PHK akan tetap mendapat pesangon 32 kali gaji. Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku dalam UU Ketenagakerjaan yang berlaku sekarang.
“PKS menilai JKP berpeluang mempersulit pekerja dalam mendapatkan pesangon yang layak sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Fraksi PKS tidak setuju dan memberi catatan tebal terhadap RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan. Khususnya yang terkait dengan pesangon yang sebagian akan dibayarkan oleh APBN,” paparnya.
Dalam kondisi fiskal APBN yang lemah dan ancaman resesi ekonomi, lanjutnya, pengaturan ini akan semakin menyulitkan keuangan negara.
Di dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, seluruh besaran pesangon tersebut merupakan kewajiban bagi pemberi kerja. Jumlah total pesangon, besaran 32 kali gaji ini memang sama dengan ketentuan dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dari sisi pekerja, mereka menerima besaran pesangon yang sama seperti diatur dalam UU yang ada sekarang. Namun dari sisi pengusaha, mereka sangat diuntungkan dengan RUU Cipta Kerja ini.
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama Pemerintah dan DPD menyepakati sanksi pidana yang sudah ada dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak akan dimasukkan dalam Daftar Inventarisir Masalah (DIM) di Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) klaster ketenagakerjaan. "Sanksi pidana terkait dengan UU Ketenagakerjaan tetap seperti di UU eksisting. Apakah disetujui?" kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas.
Setelah itu, anggota Baleg bersama perwakilan Pemerintah dan DPD RI menyatakan setuju dihapusnya DIM terkait sanksi pidana dalam klaster ketenagakerjaan di RUU Ciptaker.
Politisi Partai Gerindra tersebut menjelaskan telah menjadi kesepakatan semua fraksi dan pemerintah bahwa semua Putusan MK wajib diikuti. Bukan hanya terkait klaster ketenagakerjaan, tetapi semua klaster dalam RUU Ciptaker.
"Sedapat mungkin tidak hanya terkait dengan amar putusan MK. Namun juga pertimbangannya. Karena itu saya tawarkan tetap dibahas DIM yang berhubungan dengan Putusan MK mengenai UU Ketenagakerjaan," lanjutnya.
Ada sejumlah Putusan MK atas berbagai pasal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Putusan MK itu antara lain tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan jaminan sosial.
Selain itu, mempertahankan aturan yang ada dalam UU Ketenagakerjaan dengan persyaratan tertentu. "Karena ada poin persyaratan tertentu, maka akan tetap dibahas dalam RUU Cipta Kerja," urainya.
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) juga tetap ada sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan. Namun ada penambahan terkait klaster keimigrasian dalam RUU Ciptaker.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com