News . 25/09/2020, 07:52 WIB
JAKARTA - Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya menjatuhkan sanksi etik ringan berupa teguran tertulis II kepada Ketua KPK Firli Bahuri. Sanksi ini dinilai mengecewakan.
Oleh Dewas KPK, mantan Kapolda Sumatera Selatan itu dinyatakan terbukti bersalah melanggar kode etik menyangkut gaya hidup mewah. Firli didapati menumpang helikopter untuk kepentingan pribadi ketika melakukan kunjungan dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan.
"Mengadili, menyatakan terperiksa terbukti bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku," ujar Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean membacakan putusan dalam sidang yang disiarkan secara virtual, Kamis (24/9).
Firli dinyatakan melanggar Pasal 4 Ayat (1) huruf n dan Pasal 8 Ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 02 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Akibatnya, Dewas KPK menjatuhkan sanksi ringan berupa pemberian teguran tertulis II kepada Firli.
"Menghukum terperiksa dengan sanksi ringan berupa teguran tertulis II yaitu agar terperiksa tidak mengulangi lagi perbuatannya dan agar terperiksa sebagai ketua Komisi Pemberantasan Korupsi senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan mentaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam kode etik dan pedoman perilaku komisi pemberantasan Korupsi," kata Tumpak.
"Saya mohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mungkin tidak nyaman, dan tentu putusan saya terima dan saya pastikan saya tidak akan mengulangi itu terima kasih," kata Firli.
Sidang pelanggaran etik Firli Bahuri ini diketahui merupakan tindak lanjut dari laporan yang dilayangkan oleh Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Firli dilaporkan terkait dua dugan pelanggaran kode etik.
Pertama terkait ketidakpatuhan Firli atas protokol kesehatan. Kedua, mengenai gaya hidup mewah dengan menggunakan sebuah helikopter milik perusahaan swasta dengan kode PK-JTO untuk kepentingan pribadi melakukan ziarah.
Namun, ia mengaku tetap menghormati putusan tersebut. Ia meyakini, sanksi teguran tertulis II yang dijatuhkan Dewas KPK cukup memberikan efek jera agar Firli tak mengulangi perbuatannya kembali.
"Saya berharap dengan putusan ini, melecut, memacu, katakanlah menjewer Pak Firli untuk serius lagi kerja di KPK dalam bentuk pemberantasan korupsi," ucapnya menanggapi putusan tersebut.
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mempertanyakan kualitas penegakan kode etik di KPK atas putusan ringan Firli tersebut. Menurutnya, tindakan Firli yang menumpang moda transportasi mewah semestinya pantas dijatuhi sanksi berat berupa rekomendasi untuk mengundurkan diri dari Pimpinan KPK.
Sebagai Ketua KPK, kata dia, semestinya Firli memahami dan mengimplementasikan Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi. Apalagi, tindakan Firli itu juga bersebrangan dengan nilai Integritas yang selama ini sering dikampanyekan oleh KPK, salah satunya tentang hidup sederhana.
Kedua, Dewas KPK tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan. ICW pada tahun 2018 melaporkan Firli ke Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat atas dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara di KPK. Pada September 2019 lalu KPK pun mengumumkan Firli terbukti melanggar kode etik, bahkan saat itu dijatuhkan sanksi pelanggaran berat. Sementara dalam putusan terbaru, Dewas KPK menyebutkan Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik.
Keempat, putusan Dewas KPK terhadap Firli sulit untuk mengangkat reputasi KPK yang kian terpuruk. Sebab, sanksi ringan itu bukan tidak mungkin akan jadi preseden bagi pegawai atau Pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis. Jika dilihat ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020, praktis tidak ada konsekuensi apapun atas sanksi ringan, hanya tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar atau pelatihan, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri.
Kelima, lemahnya peran Dewas KPK dalam mengawasi etika Pimpinan dan pegawai KPK. Dalam kasus Firli, semesti Dewas KPK dapat mendalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter tersebut. Dalam putusan atas Firli Bahuri, Dewas KPK tidak menyebutkan dengan terang apakah Firli sebagai terlapor membayar jasa helikopter itu dari uang sendiri atau sebagai bagian dari gratifikasi yang diterimanya sebagai pejabat negara. Dewas KPK berhenti pada pembuktian, bahwa menaiki helikopter merupakan bagian dari pelanggaran etika hidup sederhana.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com