News . 15/09/2020, 10:00 WIB
JAKARTA - Banyaknya calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2020 dianggap sebagai kegagalan berdemokrasi. Adanya satu calon melawan kotak kosong, dinilai tidak memberikan pilihan kepada rakyat. Pemilih hanya dijejali satu kandidat.
Pengamat Politik Emrus Sihombing mengatakan, adanya satu kandidat dalam perhelatan pilkada, bisa dikatakan kegagalan partai merekrut kader dan calon pemimpin. Bahkan, pilkada hanya dimaknai soal kalah dan menang. Bukan pendidikan politik kepada rakyat.
“Saya melihat dari dua aspek. Partai yang tidak memiliki kandidat, berarti tidak bisa melahirkan pemimpin. Apa kerja partai selama ini. Menurut saya ini menjadi suatu yang tidak baik. Terlalu berorientasi kalah menang. Mereka gagal melahirkan pemimpin,” tegas Emrus di Jakarta, Senin (14/9).
Diketahui, Lembaga penyelenggara pemilu merilis, ada 25 kabupaten/kota yang memiliki calon tunggal. Komisioner KPU RI Ilham Saputra mengatakan, dari data rekapitulasi, 25 pasangan calon tunggal tersebut merupakan calon yang maju lewat dukungan partai politik, tidak ada yang lewat jalur perorangan atau independen.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebut Pilkada yang hanya diikuti pasangan calon tunggal terus meningkat trennya dari tahun ke tahun. "Dalam perkembangan pilkada 2015-2018, angkanya mengalami kenaikan," kata Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo.
"Setidaknya ada tiga penyebab munculnya pasangan calon tunggal pada pilkada. Pertama karena candidate oriented. Yakni berorientasi pada ketokohan seseorang, bukan gagasan," jelasnya.
Kedua, parpol yang elitis. Karena cenderung dibangun dari elite atau kalangan atas, bukan dari masyarakat bawah. Ketiga, besarnya peluang kemenangan pasangan calon tunggal pada kontestasi pilkada sebagaimana realita yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. (khf/rh/fin)
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com